Senin, 14 September 2020

Makalah tentang Aqidah Islam

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  LATAR BELAKANG

Kehadiran agama islam yang di bawa nabi Muhammad saw. Di yakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin . di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi kehidupanya secara lebih bermakna dalam arti yang seluas luasnya .

Petunjuk petunjuk mengenai berbagai kehidupan manusia , sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya , yaitu,al-Quran dan hadis ,nampak lebih amat ideal dan agung .sejalan dengan pernyataan tersebut pernyataan tersebut,Fazlul rahmansampai pada suatu tesis bahwa secara eksplisit dasar dalam ajaran al- Quran adalah moral yang memancarkan titik bertanya pada monoteisme dan keadilan social . misalnya pada ajaran tentang ibadah  yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketakwaan yang di wujudkan dalam akhlaq yang mulia.

Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan jalalludin rahmad terhadap al-quran menyimpulkan empat hal yang bertemakan tentang keperduliannya terhadap masalah social . pertama dalam al-quran dan kitab kiotab hadis, proporsi  terbesar ditujukan pada urusan social ,kedua dalam kenyataan bila urusaan ibadah bersamaan  wakyunya dengan urusan muamalah yang penting, maksa ibadah boleh diperpendek atau ditanggungkan (Tentu bukan ditinggalkan).ketiga, bahwa ibada yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perseorangan.keempat bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal , karena melanggar pantangan terentu, maka kafaratnya(tembusannya) yaitu melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu social.

Akibat dari kesalah pahaman dari symbol – symbol keagamaan itu , maka agama lebih dihayatisebagai penyelamat individu dan bukan sebagai keberkahan social secara bersama.pesan spiritualitas agama menjadi mandeg, terkristal dalam kumpulan mitos dan ungkapan simbolis tanpa makna . agama tidak muncul di dalam suatu kesadaran kritis terhadap situasi aktual.

 

1.2  RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian Karakteristik Agama Islam

2.      Apa yang saja macam-macam karakteristik Agama Islam

3.      Apa pengertian Karakteristik Islam Di Bidang Aqidah

4.      Apa pengertian Karakteristik Islam Di Bidang Ibadah

5.      Apa pengertian Karakteristik Islam Di Bidang Sosial

 

1.3  TUJUAN

1.      Memahami tentang karakteristik Agama Islam

2.      Mengetahui bagian-bagian karakteristik di Agama Islam

3.      Memahami karakteristik agama islam di bidang Akidah,Ibadah Dan Sosial

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Pengertian Karakteristik Agama  Islam dalam Bidang Aqidah”

Ajaran Islam sebagaimana dikemukakan Maulana Muhammad Ali, dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu bagian teori atau yang lazim disebut rukun iman, dan bagian praktik yang mencakup segala yang harus dikerjakan oleh orang Islam, yakni amalan-amalan yang harus dijadikan pedoman hidup. Bagian pertama selanjutnya disebut ushul (pokok) dan bagian kedua disebut furu'.[1] Kata ushul adalah jamak dari ashl artinya pokok atau asas; adapun kata furu' artinya cabang. Bagian pertama disebut pula aqa 'id artinya kepercayaan yang kokoh, adapun bagian kedua disebut ahkam. Menurut Imam Syahrastani bagian pertama disebut ma 'rifat dan bagian kedua disebut tha 'ah, kepatuhan.[2]

Selanjutnya dalam KitabMu'jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang membahayakan.[3] Dalam bidang perundang-undangan Akidah berarti menyepakati antara dua perkara atau lebih yang harus dipatuhi bersama) Dalam kaitan ini akidah berkaitan dengan kata aqad yang digunakan untuk arti akad nikah, akad jual beli, akad kredit dan sebagai-nya. Dalam akad tersebut terdapat dua orang yang saling menyepakati sesuatu yang apabila tidak dipatuhi akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan. Akad nikah misalnya, apabila dirusak akan berakibat merugikan kepada dua belah pihak secara lahir dan batin, apalagi bila kedua pasangan tersebut telah dikarunia putera-putera yang membutuhkan kasih sayang.

Istilah karakteristik ajaran islam terdiri dari dua kata: karakteristik dan ajaran islam. Kata karakteristik dalam kamus bahasa Indonesia, diartikan sesuatu yang mempunyai karakter atau sifat yang khas. Islam dapat diartikan agama yang diajarkan nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada kitab suci al qur'an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu Allah SWT. Berarti karakteristik ajaran islam dapat diartikan sebagai ciri yang khas atau khusus yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam berbagai bidang agama, ibadah, muamalah (kemanusiaan), yang di dalamnya temasuk ekonomi, social, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan, dan disiplin ilmu.[4]

Konsepsi Islam dalam yang akan dibahas adalah karakteristiknya dalam bidang aqidah, yaitu sebagai berikut :

 

a.       Karakteristik Ajaran Islam Dalam Bidang Aqidah

Ajaran islam sebagaimana yang dikemukakan maulana Muhammad ali, dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu bagian teori atau yang lazim disebut rukun iman, dan bagian praktik yang mencakup segala yang harus dikerjakan oleh orang islam, yakni amalan- amalan yang harus dijadikan pedoman hidup; bagian pertama selanjutnya disebut ushul (pokok) dan bagian kedua disebut furu' (cabang). Kata ushul adalah jamak dari ashl artinya pokok atau asa; adapun kata furu' artinya cabang. Bagian pertama disebut pula aqaid artinya kepercayaan yang kokoh, adapun bagian kedua disebut ahkam. Menurut imam syahrastani bagian pertama disebut ma'rifat dan bagian kedua disebut tha'ah, kepatuhan.

Selanjutnya dalam kitab mu'jam al-falsafi, jamil shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka karena akan mengandung unsur yang membahayakan. Dalam bidang perundang-undangan, akidah berarti menyepakati antara dua perkara atau lebih yang harus dipatuhi bersama. Dalam kaitan ini akidah berkaitan dengan kata aqad yang digunakan untuk arti akad nikah, akad jual beli, akad kredit dan sebagainya. Dalam akad tersebut terdapat dua orang yang saling menyepakati sesuatu yang apabila tidak dipatuhi akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan akad nikah misalnya, apabila dirusakakan berakibat merugikan kepada dua belah pihak secara lahir dan batin, apalagi bila kedua pasangan tersebut telahd ikarunia putera-putera yang membutuhkan kasih sayang.

Karakteristik islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa akidah islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya. Yang diyakini dan diakui sebagai Tuhan yang wajib disembah hanya Allah. Keyakinan tersebut sedikit pun tidak boleh diberikan kepada yang lain, karena akan berakibat musyrik yang berdampak pada motivasi kerja yang tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah. Dalam prosesnya, keyakinan tersebut harus langsung, tidak boleh melalui perantara. Akidah demikian itulah yang akan melahirkan bentuk pengabdian hanya pada Allah, yang selanjutnya berjiwa bebas, merdeka dan tidak tunduk pada manusia dan lainnya yang menggantikan posisi Tuhan.

Akidah dalam islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah swt sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimat syahadat dan perbuatan dengan amal soleh. Akidah demikian itu mengandung arti bahwa dari orang yang beriman tidak ada rasa dalam hati, atau ucapan di mulut atau perbuatan melainkan secara keseluruhan menggambarkan iman kepada Allah swt, yakni tidak ada niat, ucapan dan perbuatan yang dikemukakan oleh orang yang beriman itu kecuali yang sejalan dengan kehendak Allah.

Akidah dalam islam selanjutnya harus berpengaruh ke dalam segala aktivitas yang dilakukan manusia, sehingga berbagai aktvitas tersebut bernilai ibadah. Dalam hubungan ini Yusuf al Qardawi mengatakan bahwa iman menurut pengertian yang sebenarnya ialah kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.[5]

Dengan demikian akidah islam bukan sekedar keyakinan dalam hati, melainkan pada tahap yang selanjutnya harus menjadi acuan dan dasar dalam bertingkah laku serta berbuat yang pada akhirnya menimbulkan amal saleh.

 

2.2  Pengertian Karakteristik Agama  Islam dalam Bidang ibadah

Karakteristik ajaran islam selanjutnya dapat di kenal melalui konsepsi nya dalam bidang ibadah. Secara harfiah ibadah berarti  berarti bakti manusia kepada Allah Swt., karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.9 Majelis Tarjih Muhammadjyah dengan agak lengkap mendefinisikan ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah, sedangkan yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu.10

Ibadah yang dibahas dalam bagian ini adalah ibadah dalam arti yang nomor dua, yaitu ibadah khusus. Dalam yurisprudensi Islam telah ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah tidak boleh ada "kreativitas", sebab yang meng-create atau yang membentuk suatu ibadah dalam Islam dinilai sebagai bid'ah yang dikutuk nabi sebagai kesesatan." Bilangan salat lima waktu serta tata cara mengerjakannya, ketentuan ibadah haji dan tata cara mengerjakannya misalnya adalah termasuk masalah ibadah yang tata cara mengerjakannya telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Ketentuan ibadah demikian itu termasuk salah satu bidang ajaran Islam di mana akal manusia tidak perlu campur tangan, melainkan hak dan otoritas Tuhan sepenuhnya. Kedudukan manusia dalam hal ini mematuhi, mentaati, melaksanakan, dan menjalankannya dengan penuh ketundukan pada Tuhan, sebagai bukti pengabdian dan rasa terima kasih kepada-Nya. Hal demikian menurut Ahmad Amin, dilakukan sebagai arti dan pengisian dari makna Islam, yaitu berserah diri, patuh, dan tunduk guna mendapatkan kedamaian dan

 

2.3  Karakteristik Ajaran Islam dalam bidang Sosial

Selanjutnya karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun, khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa, dan kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dan lain sebagainya yang berbau rasialis.[6] Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosial tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun berasal dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.

Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam temyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam temyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari­pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh lebih luas daripada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat kita lihat misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan {diqashar atau dijama' dan bukan ditinggalkan). Dalam hadisnya, Rasulullah Saw. mengingatkan imam supaya memperpendek salatnya bila di tengah jamaah ada yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orangyang mempunyai keperluan. Istri Rasulullah Saw., Siti Aisyah, mengisahkan: Rasulullah Saw. salat di rumah dan pintu terkunci. Lalu aku datang (dalam riwayat lain aku minta dibukakan pintu), maka Rasulullah Saw. berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat salatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh lima orang perawi, kecuali Ibn Majah.

Selanjutnya Islam menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara berja-maah atau bersama-sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi daripada salat yang dilakukan secara perorangan, dengan perbandingan 27 derajat.

Dalam pada itu Islam menilai bila urusan ibadah dilakukan tidak sem-purna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (te-busannya) adalah dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengmfidyah (tebusan) dalarrvbentuk memberi makanan bagi orang miskin. Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadahnya tidak dapat menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan salat tahajud. Orang yang berbuat zalim tidak akan hilang dosanya dengan membaca zikir serubu kali. Bahkan dari beberapa keterangan,kita mendapatkan kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima allah bila pelakunya melanggar norma-norma muamalah.[7]

Karakteristik ajaran Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan oleh kelompok sebelumnya pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan Derajat), tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, kelamin dan sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosial tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun berasal dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.

Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh lebih luas daripada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat kita lihat misalnya bila urusan ibadah bersamaam waktunya dengan urusan sosial yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (diqashar atau dijama’ dan bukan ditinggalkan). Dalam hadisnya Rasulullah SAW. mengingatkan imam supaya memperpendek shalatnya, bila di tengah jama’ah ada yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan. Istri Rasulullah Saw. Siti Aisyah mengisahkan: Rasulullah SAW. berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat salatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh lima orang perawi, kecuali ibn Majah. Selanjutnya Islam menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara berjama’ah atau bersama-sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi daripada salat yang dilakukan secara perorangan, dengan perbandingan 27 derajat.

Dalam pada itu Islam menilai bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena mendengar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusannya) adalah dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengan fidyah (tebusan) dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadahnya tidak dapat menutupnya.  Yang merampas hal orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan salat tahajjud. Orang yang berbuat dzalim tidak akan hilang dosanya dengan membaca zikir seribu kali. Bahkan dari beberapa keterangan, kita mendapatkan kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima Allah, bila pelakunya melanggar norma muamalah.

 

a.      Tolong Menolong

Allah swt menciptakan sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan, ada lelaki wanita, kaya miskin, pejabat rakyat, kyai santri dst. Juga manusia diberinya kelebihan tetapi dibarengi dengan kekurangan. Kebaikan disertai keburukan.

Mengapa terjadi demikian ? Tujuannya adalah agar masing-masing bisa saling mengisi kekosongan, saling mengingatkan apabila terjadi kelalaian, saling menyempurnakan apabila ada kekurangan, saling memperbaiki apabila terjadi kerusakan, saling beramal kebajikan atas apa yang telah Allah berikan kepadanya.

Allah berfirman di dalam Q.S Al Maidah 5 : 2 yang berbunyi sebagai berikut.

 

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [٥:٢]

Yang artinya berbunyi sebagai berikut, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya “[8]

Melalui ayat ini Allah swt. menyuruh umat manusia untuk saling membantu, tolong menolong dalam mengerjakan kabaikan/kebajikan dan ketaqwaan. Sebaliknya Allah melarang kita untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran.

Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian. Meski segalanya ia miliki: harta benda yang berlimpah sehingga setiap apa yang ia mau dengan mudah  dapat terpenuhi, tetapi jika ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan kesepian pula. Kebahagiaan pun mungkin tak pernah ia rasakan.

Lihat saja betapa merananya (nabi) Adam ketika tinggal di surga. Segala kebutuhan yang ia perlukan disediakan oleh Tuhan. Apa yang ia mau, saat itu juga dapat dinikmatinya. Tetapi lantaran ia tinggal sendirian di sana , ia merasa kesepian. Segala yang di sediakan oleh Sang Pencipta bak terasa hampa menikmatinya.

Dalam kesendirian yang diselimuti rasa kesepian itu Adam berdo’a pada Tuhan agar diberikan seorang teman. Allah pun mengabulkannya. Maka sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, Allah pun menciptakan Hawa (Eva dalam Al-Kitab) untuk menemani Adam.

Sebagai makhluk social pula manusia membutuhkan orang lain. Tak hanya sebagai teman dalam kesendirian, tetapi juga partner dalam melakukan sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi, social, budaya, politik maupun amal perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada Tuhan. Di sinilah tercipta hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lainnya.

Nah, Allah swt. memberikan rule (kaidah/panduan) agar dalam melakukan tolong menolong itu seyogyanya ketika kita melakukan hal-hal yang baik, tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan maupun budaya atau norma yang berlaku di masyarakat di mana kita tinggal.

Tentu kita prihatin manakala membaca berita-berita di media massa maupun menyaksikan sendiri di lingkungan kita, bahwa ada banyak orang atau kelompok justru saling bau membau, tolong menolong dalam melakukan kebathilan. Entah itu pencurian, korupsi, pembunuhan, penindasan, penculikan, kekerasan, pembabatan hutan, dsbg. Semuanya dilakukan secara berjamaah. Bukankah hal ini bertentangan dengan anjuran Tuhan sebagaimana tertuang dalam ayat di atas?

Padahal, konon, negeri ini adalah satu negeri yang dihuni oleh mayoritas umat Islam terbesar di belahan dunia. Bukankah ini ironi?

Setiap hari mesjid dan  mushola kian bertambah. Jamaahnya pun kian membludak. Tiap tahun jumlah jemaah haji juga kian tak terbendung, selalu melebihi kuota. Syi’ar-syi’a agama juga menghiasi media massa baik cetak maupun  elektronik. Bahkan piranti teknologi informasi mutakhir bernama telepon seluler dapat kita manfaatkan sebagai media belajar agama. Apa yang kurang dari semua itu?

Nampaknya kita memang mesti menelaah ulang, merenungi kembali model keberagamaan kita selama ini. Jangan sampai terjebak pada hedonisme religius, taat secara ritual, tetapi miskin secara spiritual dan subtansial.

Sambil mencermati kembali ayat di atas, kini saatnya, sebagai muslim Indonesia , kita belajar untuk dapat menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia. Tentu kita semua ingin bahwa bangunan ukhuwah islamiyah yang sudah terbangun di antara internal umat Islam dapat meluas menjadi ukhuwah wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan antar sesama manusia) tanpa harus melihat asal usul, warna kulit, asal suku bangsa.

 

b.      Saling Menasehati Tentang Hak Dan Kesabaran

Sebagian kaum muslimin bertanya:

“Mengapa kita harus saling menyalahkan satu sama yang lainnya, bukankah kita masih sama-sama kaum muslimin yang bersaudara dan kita berkewajiban mempererat ukhuwah Islamiyah?”

Benar, kita adalah kaum muslimin yang memiliki ikatan ukhuwah. Untuk itu, maka kita tidak boleh saling mendhalimi antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah bersabda:

Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendhaliminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya! Takwa ada di sini -beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)[9]

Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya. Jangan mendhaliminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat. (HR. Bukhari Muslim)

Allah juga berfirman:

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (al-Hujuraat: 10)

Oleh karena itu, untuk mempererat ukhuwah kita harus saling menjaga da-rah seorang muslim, harta dan kehormatan mereka.Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan 3 sebab, yaitu: murtad, orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah dan qishash (pembunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja harus dibunuh).

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda:

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada illah yang patut diibadahi kecuali Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kecuali dengan tiga perkara: jiwa dengan jiwa, pezina yang sudah pernah menikah dan orang yang memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jama’ah (kaum muslimin).

Dengan demikian, darah seorang muslim tidak halal kecuali dengan 3 hal di atas, itupun yang berhak mengeksusinya adalah para penguasa, bukan oleh sembarang orang. Maka kami mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk meninggalkan budaya preman dalam menyelesaikan suatu perselisihan.

Akhir-akhir ini -akibat jelek dari euforia demokrasi- telah menjalar di masyarakat kaum muslimin upaya menyelesaikan pertikaian dan perbedaan (ikhtilaf) dengan pengerahan massa. Memprovokasi kelompoknya untuk menyerang pada kelompok lain yang dianggap berbeda, sehingga terjadilah bakar-membakar, serang-menyerang atau akhlaq barbarian lainnya yang menimbulkan korban harta dan nyawa.

Harta siapakah yang dirugikan dengan terbakarnya berbagai prasana seperti masjid-masjid, gedung-gedung, sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren atau kantor-kantor dakwah? Nyawa siapakah yang menjadi korban dengan sikap arogansi dan barbarian di atas? Tentu saja harta dan nyawa kaum muslimin.

Apa yang mereka pahami dari hadits-hadits di atas? Bukankah hadits tersebut menunjukkan tidak halalnya darah seorang muslim, tidak halalnya harta seorang muslim dan tidak halal mendhalimi seorang muslim?

 

c.       Mempererat ukhuwah dengan nasehat

Menjaga ukhuwah islamiyah adalah dengan menjaga hal-hal tersebut di atas: saling menjaga harta, darah dan kehormatan mereka. Bukan dengan membuang perintah Allah untuk saling nasehat-nasehati. Tidak seperti yang mereka katakan tadi: “Jangan saling salah-menyalahkan, bukankah kita bersaudara”.

Kita katakan: justru karena kita bersaudara, kita harus saling mengingatkan mana yang benar dan mana yang salah. Karena seluruh kaum muslimin berharap jelasnya kebenaran dan kebatilan, sebagaimana dalam doa mereka di masjid-masjid:

Ya Allah perlihatkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami yang batil adalah batil dan bantulah kami untuk menjauhinya.

Maka tujuan dakwah ini adalah menjelaskan yang haq adalah hak dan yang batil adalah batil. Sebagaimana Allah berfirman:

لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ

Agar Allah menetapkan yang hak adalah haq dan membatalkan yang batil walaupun orang-orang yang berdosa itu tidak menyukainya. (al-Anfaal: 8)

Oleh karena itu, mengingatkan yang lupa dan memperbaiki yang salah jika diiringi dengan bukti-bukti dan dalil-dalil secara ilmiyah, justru akan mempererat ukhuwah islamiyah. Karena sudah merupakan kodrat manusia untuk berbuat salah dan lupa. Untuk itu harus ada di tengah mereka saling nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran.

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (al-‘Ashr: 1-3) Nasehat-menasehati tersebut harus dilatarbelakangi oleh rasa kasih sayang dan ukhuwah islamiyah. Kita tidak ingin melihat saudara kita terjatuh ke dalam kesalahan dan penyimpangan (kebid’ahan) yang pelakunya terancam dengan neraka. Maka -dalam rangka ukhuwah islamiyah- kita wajib mengingatkan kesalahan mereka dan menjelaskan penyimpangan dan kebid’ahan-kebid’ahan mereka dengan berharap semoga Allah menyelamatkan seluruh kaum muslimin dari kesesatan dan penyimpangan.

d.      Kesetiakawanan

Ayat Al-Qur’an tersebut menggariskan dua dimensi hubungan manusia beriman yang harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni: (1) hubungan vertical dengan Allah SWT, melalui rukuk, sujud dan penyembahan formal dalam bentuk shalat dan ibadah-ibadah lainnya dan (2) hubungan horizontal dengan sesame manusia di masyarakat dalam bentuk perbuatan baik. Ayat tersebut juga mengisyaratkan perlunya menjaga keharmonisan, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertical dan hubungan horizontal.

Orientasi hubungan vertical disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia. Dukungan atas pandangan ini terdapat pada ayat berikut:

“Carilah dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu kehidupan akhirat, dan janganlah lupa bagimu di dunia ini; dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah engkau mencari (kesempatan untuk) berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash: 77).”

Harta benda adalah anugerah Allah. Janganlah ia melupakan kehidupan hakiki di akhirat. Bila seseorang mati, tak satupun harta benda di dunia di bawa, kecuali yang telah dibelanjakan di jalan Allah. Namun, semangat untuk meraih kebaikan di akhirat janganlah mendorong orang melupakan keperluan hidup di dunia. Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah kendaraan yang baik dan moga-moga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan dengan pasangan hidup yang setia. (Hamka, 1981, XX: 161).

Kalau harta kekayaan tidak digunakan sebagaimana mestinya, akan timbul tiga keburukan: (1) pemiliknya menjadi orang bakhil dan melupakan segala tuntutan dirinya dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya; (2) dia melupakan keperluan orang-orang fakir dan miskin yang lebih utama, atau langkah-langkah kebaikan lainnya yang memerlukan bantuan, dan (3) mungkin ia salah menafkahkan yang akibatnya bahkan mendatangkan bahaya dan kerusakan besar (Ali, 1994: 1004).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  KESIMPULAN

Di dalam merealisasikan Allah SWT untuk mempelajari agama Islam dipelajari  sebagai pengetahuan yang mendorong tingkah laku. Utnuk itu dalam mempelajari agama islam adalah untuk membentuk filosofi kehidupan Islami dan amal perbuatan Islami.

 

3.2  SARAN

Tuntasnya makalah yang kami susun ini, kami sebagai pemakalah menyampaikan saran kepada rekan-rekan sekalian, diantaranya ; agar kita senantiasa dapat memperkokoh ajaran agama Islam serat semakin memperkuat agama islam dan menjalankan perintah allah dan menjauhi larangannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Prof.Dr. H. Abuddin Nata,M.A. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers

Prof. Dr. Muhaimin,M.A dkk. 2005. Kawasan dan Wawasan studi Islam. Jakarta: Prenada Media

Prof.Dr. Muhammad Yusuf Musa. 1991. Islam Suatu Kajian Komprehensif. Jakarta: Rajawali Pers

H.A. Mukti Ali. 1990. Memahami Beberapa Aspek Agama Islam. Bandung:Mizan

Sayyid Qutb. 1990. Karakteristik Konsepsi Islam. Bandung: Pustaka

Khurshid ahmad dkk. 1989. Prinsip-Prinsip Pokok Islam. Jakarta: Cv. Rajawali

Abdullah, Amin, M., (1999), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), cet. I, him 290-291.

 

 

Ahmad Amin, f ajar Islam, (terj.) H. Zaini Dahlan, dari buku Fajr al-Islam (Cirebon, 1967), him. 94.

 

 



[1] Ahmad Amin, f ajar Islam, (terj.) H. Zaini Dahlan, dari buku Fajr al-Islam (Cirebon, 1967), him. 94.

[2] "Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), (terj.) R. Kaelani dan H.M. Bachrun dari judul asli Islamologi, (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1980), hlm. 83.

[3] "Imam Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hlm. 78.

[4] Prof.Dr. H. Abuddin Nata,M.A. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers

[5] DanAku tidak menciptakanjin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku, Aku tidak mengbendaki pemberian apapun dari mereka, dan Aku tidak mengbendaki mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Dialah pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokob. (Qs. Adz-Dzariyat, 51:56-58).

 

[6] LihatNasmddin Vamk,DienulIslam, (Bandung:al-Ma'arif, 1977),cet. II,him. 44dan 47.

[7] Jallaludin rahmat,islam alternatif,(bandung;mizan,1991),cet.IV,hlm.51.

[8] Prof.Dr. Muhammad Yusuf Musa. 1991. Islam Suatu Kajian Komprehensif. Jakarta: Rajawali Pers

[9] H.A. Mukti Ali. 1990. Memahami Beberapa Aspek Agama Islam. Bandung:Mizan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah_"Berhujjah dengan Mahfum Mukhalafah"

  KATA PENGANTAR   Alhamdullilahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita semua tetapi sedikit sekali yang kita ...