BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Kehadiran agama islam yang di bawa
nabi Muhammad saw. Di yakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera lahir dan batin . di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang
bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi kehidupanya secara lebih bermakna
dalam arti yang seluas luasnya .
Petunjuk petunjuk mengenai berbagai
kehidupan manusia , sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya ,
yaitu,al-Quran dan hadis ,nampak lebih amat ideal dan agung .sejalan dengan
pernyataan tersebut pernyataan tersebut,Fazlul rahmansampai pada suatu tesis
bahwa secara eksplisit dasar dalam ajaran al- Quran adalah moral yang
memancarkan titik bertanya pada monoteisme dan keadilan social . misalnya pada
ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan,
ketakwaan yang di wujudkan dalam akhlaq yang mulia.
Selanjutnya hasil penelitian yang
dilakukan jalalludin rahmad terhadap al-quran menyimpulkan empat hal yang
bertemakan tentang keperduliannya terhadap masalah social . pertama dalam al-quran dan
kitab kiotab hadis, proporsi terbesar ditujukan pada urusan social ,kedua
dalam kenyataan bila urusaan ibadah bersamaan wakyunya dengan urusan
muamalah yang penting, maksa ibadah boleh diperpendek atau ditanggungkan (Tentu
bukan ditinggalkan).ketiga, bahwa ibada yang mengandung segi kemasyarakatan
diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perseorangan.keempat
bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal , karena melanggar
pantangan terentu, maka kafaratnya(tembusannya) yaitu melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan ilmu social.
Akibat dari kesalah pahaman dari
symbol – symbol keagamaan itu , maka agama lebih dihayatisebagai penyelamat
individu dan bukan sebagai keberkahan social secara bersama.pesan spiritualitas
agama menjadi mandeg, terkristal dalam kumpulan mitos dan ungkapan simbolis
tanpa makna . agama tidak muncul di dalam suatu kesadaran kritis terhadap
situasi aktual.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian
Karakteristik Agama Islam
2.
Apa yang saja
macam-macam karakteristik Agama Islam
3.
Apa pengertian
Karakteristik Islam Di Bidang Aqidah
4.
Apa pengertian
Karakteristik Islam Di Bidang Ibadah
5.
Apa pengertian
Karakteristik Islam Di Bidang Sosial
1.3 TUJUAN
1.
Memahami tentang
karakteristik Agama Islam
2.
Mengetahui
bagian-bagian karakteristik di Agama Islam
3.
Memahami
karakteristik agama islam di bidang Akidah,Ibadah Dan Sosial
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Karakteristik Agama Islam dalam Bidang Aqidah”
Ajaran Islam sebagaimana
dikemukakan Maulana Muhammad Ali, dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu bagian
teori atau yang lazim disebut rukun iman, dan bagian praktik yang mencakup
segala yang harus dikerjakan oleh orang Islam, yakni amalan-amalan yang harus
dijadikan pedoman hidup. Bagian pertama selanjutnya disebut ushul (pokok) dan
bagian kedua disebut furu'.[1]
Kata ushul adalah jamak dari ashl artinya pokok atau asas; adapun kata furu'
artinya cabang. Bagian pertama disebut pula aqa 'id artinya kepercayaan yang
kokoh, adapun bagian kedua disebut ahkam. Menurut Imam Syahrastani bagian
pertama disebut ma 'rifat dan bagian kedua disebut tha 'ah, kepatuhan.[2]
Selanjutnya
dalam KitabMu'jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa
adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara
kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga
ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang
membahayakan.[3] Dalam
bidang perundang-undangan Akidah berarti menyepakati antara dua perkara atau
lebih yang harus dipatuhi bersama) Dalam kaitan ini akidah berkaitan dengan
kata aqad yang digunakan untuk arti akad nikah, akad jual beli, akad kredit dan
sebagai-nya. Dalam akad tersebut terdapat dua orang yang saling menyepakati
sesuatu yang apabila tidak dipatuhi akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan.
Akad nikah misalnya, apabila dirusak akan berakibat merugikan kepada dua belah
pihak secara lahir dan batin, apalagi bila kedua pasangan tersebut telah
dikarunia putera-putera yang membutuhkan kasih sayang.
Istilah karakteristik ajaran islam
terdiri dari dua kata: karakteristik dan ajaran islam. Kata karakteristik dalam
kamus bahasa Indonesia, diartikan sesuatu yang mempunyai karakter atau sifat
yang khas. Islam dapat diartikan agama yang diajarkan nabi Muhammad SAW yang
berpedoman pada kitab suci al qur'an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu
Allah SWT. Berarti karakteristik ajaran islam dapat diartikan sebagai ciri yang
khas atau khusus yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang agama, ibadah, muamalah (kemanusiaan),
yang di dalamnya temasuk ekonomi, social, politik, pendidikan, kesehatan,
pekerjaan, lingkungan, dan disiplin ilmu.[4]
Konsepsi Islam dalam yang akan
dibahas adalah karakteristiknya dalam bidang aqidah, yaitu sebagai berikut :
a. Karakteristik
Ajaran Islam Dalam Bidang Aqidah
Ajaran islam sebagaimana yang
dikemukakan maulana Muhammad ali, dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu bagian
teori atau yang lazim disebut rukun iman, dan bagian praktik yang mencakup
segala yang harus dikerjakan oleh orang islam, yakni amalan- amalan yang harus
dijadikan pedoman hidup; bagian pertama selanjutnya disebut ushul (pokok) dan
bagian kedua disebut furu' (cabang). Kata ushul adalah jamak dari ashl artinya
pokok atau asa; adapun kata furu' artinya cabang. Bagian pertama disebut pula
aqaid artinya kepercayaan yang kokoh, adapun bagian kedua disebut ahkam.
Menurut imam syahrastani bagian pertama disebut ma'rifat dan bagian kedua
disebut tha'ah, kepatuhan.
Selanjutnya dalam kitab mu'jam
al-falsafi, jamil shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah
menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan
tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi
ikatan yang mudah dibuka karena akan mengandung unsur yang membahayakan. Dalam
bidang perundang-undangan, akidah berarti menyepakati antara dua perkara atau
lebih yang harus dipatuhi bersama. Dalam kaitan ini akidah berkaitan dengan
kata aqad yang digunakan untuk arti akad nikah, akad jual beli, akad kredit dan
sebagainya. Dalam akad tersebut terdapat dua orang yang saling menyepakati
sesuatu yang apabila tidak dipatuhi akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan
akad nikah misalnya, apabila dirusakakan berakibat merugikan kepada dua belah
pihak secara lahir dan batin, apalagi bila kedua pasangan tersebut telahd
ikarunia putera-putera yang membutuhkan kasih sayang.
Karakteristik islam yang dapat
diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa akidah islam bersifat murni
baik dalam isinya maupun prosesnya. Yang diyakini dan diakui sebagai Tuhan yang
wajib disembah hanya Allah. Keyakinan tersebut sedikit pun tidak boleh
diberikan kepada yang lain, karena akan berakibat musyrik yang berdampak pada
motivasi kerja yang tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah. Dalam
prosesnya, keyakinan tersebut harus langsung, tidak boleh melalui perantara.
Akidah demikian itulah yang akan melahirkan bentuk pengabdian hanya pada Allah,
yang selanjutnya berjiwa bebas, merdeka dan tidak tunduk pada manusia dan
lainnya yang menggantikan posisi Tuhan.
Akidah dalam islam meliputi
keyakinan dalam hati tentang Allah swt sebagai Tuhan yang wajib disembah,
ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimat syahadat dan perbuatan dengan amal
soleh. Akidah demikian itu mengandung arti bahwa dari orang yang beriman tidak
ada rasa dalam hati, atau ucapan di mulut atau perbuatan melainkan secara
keseluruhan menggambarkan iman kepada Allah swt, yakni tidak ada niat, ucapan
dan perbuatan yang dikemukakan oleh orang yang beriman itu kecuali yang sejalan
dengan kehendak Allah.
Akidah dalam islam selanjutnya
harus berpengaruh ke dalam segala aktivitas yang dilakukan manusia, sehingga
berbagai aktvitas tersebut bernilai ibadah. Dalam hubungan ini Yusuf al Qardawi
mengatakan bahwa iman menurut pengertian yang sebenarnya ialah kepercayaan yang
meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu,
serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.[5]
Dengan demikian akidah islam bukan
sekedar keyakinan dalam hati, melainkan pada tahap yang selanjutnya harus
menjadi acuan dan dasar dalam bertingkah laku serta berbuat yang pada akhirnya
menimbulkan amal saleh.
2.2 Pengertian Karakteristik
Agama Islam dalam Bidang ibadah
Karakteristik ajaran islam
selanjutnya dapat di kenal melalui konsepsi nya dalam bidang ibadah. Secara
harfiah ibadah berarti berarti bakti
manusia kepada Allah Swt., karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.9
Majelis Tarjih Muhammadjyah dengan agak lengkap mendefinisikan ibadah sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya,
menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah
ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan
Allah, sedangkan yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan
perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu.10
Ibadah yang dibahas dalam bagian
ini adalah ibadah dalam arti yang nomor dua, yaitu ibadah khusus. Dalam
yurisprudensi Islam telah ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah tidak boleh ada
"kreativitas", sebab yang meng-create atau yang membentuk suatu
ibadah dalam Islam dinilai sebagai bid'ah yang dikutuk nabi sebagai kesesatan."
Bilangan salat lima waktu serta tata cara mengerjakannya, ketentuan ibadah haji
dan tata cara mengerjakannya misalnya adalah termasuk masalah ibadah yang tata
cara mengerjakannya telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Ketentuan ibadah demikian itu termasuk
salah satu bidang ajaran Islam di mana akal manusia tidak perlu campur tangan,
melainkan hak dan otoritas Tuhan sepenuhnya. Kedudukan manusia dalam hal ini
mematuhi, mentaati, melaksanakan, dan menjalankannya dengan penuh ketundukan
pada Tuhan, sebagai bukti pengabdian dan rasa terima kasih kepada-Nya. Hal
demikian menurut Ahmad Amin, dilakukan sebagai arti dan pengisian dari makna
Islam, yaitu berserah diri, patuh, dan tunduk guna mendapatkan kedamaian dan
2.3 Karakteristik Ajaran
Islam dalam bidang
Sosial
Selanjutnya karakteristik ajaran
Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang
sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam
sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan
manusia. Namun, khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi
tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan,
egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa, dan kebersamaan. Ukuran ketinggian
derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya,
kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dan lain sebagainya yang
berbau rasialis.[6] Kualitas
dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang ditunjukkan
oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini,
maka dalam Islam semua orang memiliki kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal
dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang
menghambat mobilitas sosial tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang
berprestasi sungguhpun berasal dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat
meningkat kedudukannya serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang
dicapainya.
Menurut penelitian yang dilakukan
Jalaluddin Rahmat, Islam temyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih
besar daripada urusan ibadah. Islam temyata banyak memperhatikan aspek
kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang
menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh
lebih luas daripada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat kita lihat
misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan {diqashar atau dijama'
dan bukan ditinggalkan). Dalam hadisnya, Rasulullah Saw. mengingatkan imam
supaya memperpendek salatnya bila di tengah jamaah ada yang sakit, orang lemah,
orang tua, atau orangyang mempunyai keperluan. Istri Rasulullah Saw., Siti
Aisyah, mengisahkan: Rasulullah Saw. salat di rumah dan pintu terkunci. Lalu
aku datang (dalam riwayat lain aku minta dibukakan pintu), maka Rasulullah Saw.
berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat salatnya. Hadis ini
diriwayatkan oleh lima orang perawi, kecuali Ibn Majah.
Selanjutnya Islam menilai bahwa
ibadah yang dilakukan secara berja-maah atau bersama-sama dengan orang lain
nilainya lebih tinggi daripada salat yang dilakukan secara perorangan, dengan
perbandingan 27 derajat.
Dalam pada itu Islam menilai bila
urusan ibadah dilakukan tidak sem-purna atau batal, karena melanggar pantangan
tertentu, maka kifarat (te-busannya) adalah dengan melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit
yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti dengmfidyah
(tebusan) dalarrvbentuk memberi makanan bagi orang miskin. Sebaliknya, bila
orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadahnya tidak dapat
menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan
salat tahajud. Orang yang berbuat zalim tidak akan hilang dosanya dengan
membaca zikir serubu kali. Bahkan dari beberapa keterangan,kita mendapatkan
kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima allah bila pelakunya melanggar
norma-norma muamalah.[7]
Karakteristik ajaran Islam dapat
dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang sosial ini
termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam sebagaimana
telah disebutkan oleh kelompok sebelumnya pada akhirnya ditujukan untuk
kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung
tinggi tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran,
kesetiakawanan, egaliter (kesamaan Derajat), tenggang rasa dan kebersamaan.
Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh
nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, kelamin dan sebagainya
yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh
ketakwaannya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi
manusia. Atas dasar ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki
kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya ada dalam
Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosial tersebut tidak
diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun berasal dari
kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya serta mendapat
hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.
Menurut penelitian yang dilakukan
Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih
besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek
kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang
menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh
lebih luas daripada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat kita lihat
misalnya bila urusan ibadah bersamaam waktunya dengan urusan sosial yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (diqashar atau dijama’
dan bukan ditinggalkan). Dalam hadisnya Rasulullah SAW. mengingatkan imam
supaya memperpendek shalatnya, bila di tengah jama’ah ada yang sakit, orang
lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan. Istri Rasulullah Saw.
Siti Aisyah mengisahkan: Rasulullah SAW. berjalan membuka pintu, kemudian
kembali ke tempat salatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh lima orang perawi,
kecuali ibn Majah. Selanjutnya Islam menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara
berjama’ah atau bersama-sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi daripada
salat yang dilakukan secara perorangan, dengan perbandingan 27 derajat.
Dalam pada itu Islam menilai bila
urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena mendengar pantangan
tertentu, maka kifarat (tebusannya) adalah dengan melakukan sesuatu
yang berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena
sakit yang menahun dan sulit diharapkan sembuhnya, maka boleh diganti
dengan fidyah (tebusan) dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadahnya tidak
dapat menutupnya. Yang merampas hal orang lain tidak dapat menghapus
dosanya dengan salat tahajjud. Orang yang berbuat dzalim tidak akan hilang
dosanya dengan membaca zikir seribu kali. Bahkan dari beberapa keterangan, kita
mendapatkan kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima Allah, bila pelakunya
melanggar norma muamalah.
a.
Tolong
Menolong
Allah swt menciptakan sesuatu di
dunia ini berpasang-pasangan, ada lelaki wanita, kaya miskin, pejabat rakyat,
kyai santri dst. Juga manusia diberinya kelebihan tetapi dibarengi dengan
kekurangan. Kebaikan disertai keburukan.
Mengapa terjadi demikian ?
Tujuannya adalah agar masing-masing bisa saling mengisi kekosongan, saling
mengingatkan apabila terjadi kelalaian, saling menyempurnakan apabila ada
kekurangan, saling memperbaiki apabila terjadi kerusakan, saling beramal
kebajikan atas apa yang telah Allah berikan kepadanya.
Allah berfirman di dalam Q.S Al
Maidah 5 : 2 yang berbunyi sebagai berikut.
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ [٥:٢]
Yang artinya berbunyi sebagai berikut, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya “[8]
Melalui ayat ini Allah swt.
menyuruh umat manusia untuk saling membantu, tolong menolong dalam mengerjakan
kabaikan/kebajikan dan ketaqwaan. Sebaliknya Allah melarang kita untuk saling
menolong dalam melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran.
Sebagai makhluk sosial, manusia tak
bisa hidup sendirian. Meski segalanya ia miliki: harta benda yang berlimpah
sehingga setiap apa yang ia mau dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi jika
ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan kesepian pula.
Kebahagiaan pun mungkin tak pernah ia rasakan.
Lihat saja betapa merananya (nabi)
Adam ketika tinggal di surga. Segala kebutuhan yang ia perlukan disediakan oleh
Tuhan. Apa yang ia mau, saat itu juga dapat dinikmatinya. Tetapi lantaran ia
tinggal sendirian di sana , ia merasa kesepian. Segala yang di sediakan oleh
Sang Pencipta bak terasa hampa menikmatinya.
Dalam kesendirian yang diselimuti
rasa kesepian itu Adam berdo’a pada Tuhan agar diberikan seorang teman. Allah
pun mengabulkannya. Maka sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, Allah pun
menciptakan Hawa (Eva dalam Al-Kitab) untuk menemani Adam.
Sebagai makhluk social pula manusia
membutuhkan orang lain. Tak hanya sebagai teman dalam kesendirian, tetapi juga
partner dalam melakukan sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi, social, budaya,
politik maupun amal perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada Tuhan. Di sinilah
tercipta hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang
lainnya.
Nah, Allah swt.
memberikan rule (kaidah/panduan) agar dalam melakukan tolong menolong
itu seyogyanya ketika kita melakukan hal-hal yang baik, tidak bertentangan
dengan kaidah-kaidah keagamaan maupun budaya atau norma yang berlaku di
masyarakat di mana kita tinggal.
Tentu kita prihatin manakala
membaca berita-berita di media massa maupun menyaksikan sendiri di lingkungan
kita, bahwa ada banyak orang atau kelompok justru saling bau membau, tolong
menolong dalam melakukan kebathilan. Entah itu pencurian, korupsi, pembunuhan,
penindasan, penculikan, kekerasan, pembabatan hutan, dsbg. Semuanya dilakukan
secara berjamaah. Bukankah hal ini bertentangan dengan anjuran Tuhan sebagaimana
tertuang dalam ayat di atas?
Padahal, konon, negeri ini adalah
satu negeri yang dihuni oleh mayoritas umat Islam terbesar di belahan dunia.
Bukankah ini ironi?
Setiap hari mesjid dan
mushola kian bertambah. Jamaahnya pun kian membludak. Tiap tahun
jumlah jemaah haji juga kian tak terbendung, selalu melebihi kuota.
Syi’ar-syi’a agama juga menghiasi media massa baik cetak maupun
elektronik. Bahkan piranti teknologi informasi mutakhir bernama telepon seluler
dapat kita manfaatkan sebagai media belajar agama. Apa yang kurang dari semua
itu?
Nampaknya kita memang mesti
menelaah ulang, merenungi kembali model keberagamaan kita selama ini. Jangan
sampai terjebak pada hedonisme religius, taat secara ritual, tetapi miskin
secara spiritual dan subtansial.
Sambil mencermati kembali ayat di
atas, kini saatnya, sebagai muslim Indonesia , kita belajar untuk dapat menjadi
tauladan bagi seluruh umat manusia. Tentu kita semua ingin bahwa
bangunan ukhuwah islamiyah yang sudah terbangun di antara internal
umat Islam dapat meluas menjadi ukhuwah wathoniyah (persaudaraan
kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan antar sesama manusia)
tanpa harus melihat asal usul, warna kulit, asal suku bangsa.
b.
Saling
Menasehati Tentang Hak Dan Kesabaran
Sebagian
kaum muslimin bertanya:
“Mengapa kita harus saling
menyalahkan satu sama yang lainnya, bukankah kita masih sama-sama kaum muslimin
yang bersaudara dan kita berkewajiban mempererat ukhuwah Islamiyah?”
Benar,
kita adalah kaum muslimin yang memiliki ikatan ukhuwah. Untuk itu, maka kita
tidak boleh saling mendhalimi antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah
bersabda:
Janganlah kalian saling mendengki,
janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling
membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang
lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim
adalah bersaudara, janganlah mendhaliminya, merendahkannya dan janganlah
mengejeknya! Takwa ada di sini -beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan
jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas
muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)[9]
Seorang muslim adalah saudara
muslim yang lainnya. Jangan mendhaliminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa
yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan
barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah
akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan
barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada
hari kiamat. (HR. Bukhari Muslim)
Allah
juga berfirman:
Sesungguhnya orang-orang mukmin
adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan
bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (al-Hujuraat: 10)
Oleh karena itu, untuk mempererat
ukhuwah kita harus saling menjaga da-rah seorang muslim, harta dan kehormatan
mereka.Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan 3 sebab, yaitu: murtad,
orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah dan qishash (pembunuh
seorang muslim lainnya dengan sengaja harus dibunuh).
Disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda:
Tidak halal darah seorang muslim
yang bersaksi bahwa tidak ada illah yang patut diibadahi kecuali Allah dan
bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kecuali dengan tiga
perkara: jiwa dengan jiwa, pezina yang sudah pernah menikah dan orang yang
memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jama’ah (kaum muslimin).
Dengan demikian, darah seorang
muslim tidak halal kecuali dengan 3 hal di atas, itupun yang berhak
mengeksusinya adalah para penguasa, bukan oleh sembarang orang. Maka kami
mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk meninggalkan budaya preman
dalam menyelesaikan suatu perselisihan.
Akhir-akhir ini -akibat jelek dari
euforia demokrasi- telah menjalar di masyarakat kaum muslimin upaya
menyelesaikan pertikaian dan perbedaan (ikhtilaf) dengan pengerahan massa.
Memprovokasi kelompoknya untuk menyerang pada kelompok lain yang dianggap
berbeda, sehingga terjadilah bakar-membakar, serang-menyerang atau akhlaq
barbarian lainnya yang menimbulkan korban harta dan nyawa.
Harta siapakah yang dirugikan
dengan terbakarnya berbagai prasana seperti masjid-masjid, gedung-gedung,
sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren atau kantor-kantor dakwah? Nyawa
siapakah yang menjadi korban dengan sikap arogansi dan barbarian di atas? Tentu
saja harta dan nyawa kaum muslimin.
Apa yang mereka pahami dari
hadits-hadits di atas? Bukankah hadits tersebut menunjukkan tidak halalnya
darah seorang muslim, tidak halalnya harta seorang muslim dan tidak halal
mendhalimi seorang muslim?
c.
Mempererat
ukhuwah dengan nasehat
Menjaga ukhuwah islamiyah adalah
dengan menjaga hal-hal tersebut di atas: saling menjaga harta, darah dan
kehormatan mereka. Bukan dengan membuang perintah Allah untuk saling
nasehat-nasehati. Tidak seperti yang mereka katakan tadi: “Jangan saling
salah-menyalahkan, bukankah kita bersaudara”.
Kita katakan: justru karena kita bersaudara,
kita harus saling mengingatkan mana yang benar dan mana yang salah. Karena
seluruh kaum muslimin berharap jelasnya kebenaran dan kebatilan, sebagaimana
dalam doa mereka di masjid-masjid:
Ya Allah perlihatkanlah kepada kami
yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah
kepada kami yang batil adalah batil dan bantulah kami untuk menjauhinya.
Maka tujuan dakwah ini adalah
menjelaskan yang haq adalah hak dan yang batil adalah batil. Sebagaimana Allah
berfirman:
لِيُحِقَّ
الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ
Agar Allah menetapkan yang hak
adalah haq dan membatalkan yang batil walaupun orang-orang yang berdosa itu
tidak menyukainya. (al-Anfaal: 8)
Oleh karena itu, mengingatkan yang
lupa dan memperbaiki yang salah jika diiringi dengan bukti-bukti dan
dalil-dalil secara ilmiyah, justru akan mempererat ukhuwah islamiyah. Karena
sudah merupakan kodrat manusia untuk berbuat salah dan lupa. Untuk itu harus
ada di tengah mereka saling nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran.
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (al-‘Ashr: 1-3) Nasehat-menasehati
tersebut harus dilatarbelakangi oleh rasa kasih sayang dan ukhuwah islamiyah.
Kita tidak ingin melihat saudara kita terjatuh ke dalam kesalahan dan
penyimpangan (kebid’ahan) yang pelakunya terancam dengan neraka. Maka -dalam
rangka ukhuwah islamiyah- kita wajib mengingatkan kesalahan mereka dan
menjelaskan penyimpangan dan kebid’ahan-kebid’ahan mereka dengan berharap
semoga Allah menyelamatkan seluruh kaum muslimin dari kesesatan dan
penyimpangan.
d.
Kesetiakawanan
Ayat Al-Qur’an tersebut
menggariskan dua dimensi hubungan manusia beriman yang harus selalu dipelihara
dan dilaksanakan, yakni: (1) hubungan vertical dengan Allah SWT, melalui rukuk,
sujud dan penyembahan formal dalam bentuk shalat dan ibadah-ibadah lainnya dan
(2) hubungan horizontal dengan sesame manusia di masyarakat dalam bentuk
perbuatan baik. Ayat tersebut juga mengisyaratkan perlunya menjaga
keharmonisan, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertical dan
hubungan horizontal.
Orientasi hubungan vertical
disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan
hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan
hidup di dunia. Dukungan atas pandangan ini terdapat pada ayat berikut:
“Carilah dengan apa yang telah
dianugrahkan Allah kepadamu kehidupan akhirat, dan janganlah lupa bagimu di
dunia ini; dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu;
dan janganlah engkau mencari (kesempatan untuk) berbuat kerusakan di muka bumi.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash:
77).”
Harta benda adalah anugerah Allah.
Janganlah ia melupakan kehidupan hakiki di akhirat. Bila seseorang mati, tak
satupun harta benda di dunia di bawa, kecuali yang telah dibelanjakan di jalan
Allah. Namun, semangat untuk meraih kebaikan di akhirat janganlah mendorong
orang melupakan keperluan hidup di dunia. Tinggallah dalam rumah yang baik,
pakailah kendaraan yang baik dan moga-moga semuanya itu diberi puncak
kebahagiaan dengan pasangan hidup yang setia. (Hamka, 1981, XX: 161).
Kalau harta kekayaan tidak
digunakan sebagaimana mestinya, akan timbul tiga keburukan: (1) pemiliknya
menjadi orang bakhil dan melupakan segala tuntutan dirinya dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan dirinya; (2) dia melupakan keperluan orang-orang fakir
dan miskin yang lebih utama, atau langkah-langkah kebaikan lainnya yang
memerlukan bantuan, dan (3) mungkin ia salah menafkahkan yang akibatnya bahkan
mendatangkan bahaya dan kerusakan besar (Ali, 1994: 1004).
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Di dalam merealisasikan Allah SWT
untuk mempelajari agama Islam dipelajari sebagai pengetahuan yang
mendorong tingkah laku. Utnuk itu dalam mempelajari agama islam adalah untuk
membentuk filosofi kehidupan Islami dan amal perbuatan Islami.
3.2
SARAN
Tuntasnya makalah yang kami susun
ini, kami sebagai pemakalah menyampaikan saran kepada rekan-rekan sekalian,
diantaranya ; agar kita senantiasa dapat memperkokoh ajaran agama Islam serat
semakin memperkuat agama islam dan menjalankan perintah allah dan menjauhi
larangannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.Dr.
H. Abuddin Nata,M.A. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers
Prof. Dr. Muhaimin,M.A dkk. 2005. Kawasan dan Wawasan studi
Islam. Jakarta: Prenada Media
Prof.Dr. Muhammad Yusuf Musa. 1991. Islam Suatu Kajian Komprehensif.
Jakarta: Rajawali Pers
H.A. Mukti Ali. 1990. Memahami Beberapa Aspek Agama Islam. Bandung:Mizan
Sayyid Qutb. 1990. Karakteristik Konsepsi Islam. Bandung: Pustaka
Khurshid ahmad dkk. 1989. Prinsip-Prinsip Pokok Islam. Jakarta: Cv.
Rajawali
Abdullah, Amin, M., (1999), Studi Agama:
Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Paradigma
Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), cet. I, him 290-291.
Ahmad
Amin, f ajar Islam, (terj.) H. Zaini Dahlan, dari buku Fajr al-Islam (Cirebon, 1967), him. 94.
[1] Ahmad Amin, f ajar Islam, (terj.) H.
Zaini Dahlan, dari buku Fajr al-Islam (Cirebon, 1967), him. 94.
[2] "Maulana
Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), (terj.) R. Kaelani dan H.M. Bachrun
dari judul asli Islamologi, (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1980), hlm. 83.
[3] "Imam Syahrastani, al-Milal wa
al-Nihal, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hlm.
78.
[4] Prof.Dr.
H. Abuddin Nata,M.A. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers
[5] DanAku
tidak menciptakanjin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah)
kepada-Ku, Aku tidak mengbendaki pemberian apapun dari mereka, dan Aku tidak
mengbendaki mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Dialah pemberi rezeki
Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokob. (Qs. Adz-Dzariyat, 51:56-58).
[6] LihatNasmddin
Vamk,DienulIslam, (Bandung:al-Ma'arif, 1977),cet. II,him. 44dan 47.
[7] Jallaludin
rahmat,islam alternatif,(bandung;mizan,1991),cet.IV,hlm.51.
[8] Prof.Dr. Muhammad Yusuf Musa.
1991. Islam Suatu Kajian Komprehensif. Jakarta: Rajawali Pers
[9] H.A.
Mukti Ali. 1990. Memahami Beberapa Aspek Agama Islam. Bandung:Mizan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar