KATA PENGANTAR
Alhamdullilahirabbilalamin, banyak
nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita semua tetapi sedikit sekali yang kita
ingat, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNYA sehingga kami
dapat menyelasaikan makalah ini yang berjudul “ Berhujjah dengan Mahfum
Mukhalafah”. Dan juga kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Drs.H.Musnad
Rozin,M.H. selaku dosen mata kuliah ushul fiqh kami yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah
ini berkat ridho Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk
itu, dalam kesempatan ini saya mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak dan teman-teman yang membantu membuat
makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam Proses penulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya.
Namun, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan tangan terbuka kami
menerima saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Metro, Mei 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ----------------------------------------------------------------------------------- i
KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------------------------- ii
DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------------------------- iii
BAB I PENDAHULUAN ----------------------------------------------------------------------------- 1
1.1 Latar belakang --------------------------------------------------------------------- 1
1.2 Rumusan masalah ----------------------------------------------------------------- 1
1.3 Tujuan ----------------------------------------------------------------------------- 1
BAB II PEMBAHASAN ------------------------------------------------------------------------------ 2
2.1 Definisi Mahfum------------------------------------------------------------------- 2
2.2 Kehujjahan Mahfum Mukhalafah ------------------------------------------------ 3
2.3 Macam-macam Mahfum Mukhalafah---------------------------------------------- 8
BAB III PENUTUP ------------------------------------------------------------------------------------ 11
3.1 Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------ 11
DAFTAR PUSTAKA---------------------------------------------------------------------------------- 12
\BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Segala perintah yang
diperintahkan oleh Syari’ baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun
as-Sunnah. Ketika seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath-kan
sebuah hukum baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun
yang tidak disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui
atau mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Para
ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhâlafah meskipun imam Abu Hanifah[1] mengingkari dalam menggunakan
mafhum mukhâlafah tersebut.
Maka dari itu pada
makalah ini kami ingin mengulasnya lebih lanjut, semoga apa yang kami terngakan
dapat dipahami dengan mudah lagi bermasnfaat. Segala puji hanya untuk
Allah,sholawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad bin Abdullah
selaku penutup para nabi.
1.2
Rumusan Masalah
1.
apa yang di
maksud dengan mahfum ?
2.
apa kehujjahan
mahfum mukhalafah ?
3.
apa saja
ketentuan mahfum mukhalafah ?
4.
apa alasan ulama
tentang mahfum mukhalafah ?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan yang di maksud dengan mahfum
2. menjelaskan pengertian kehujjahan mahfum mukhalafah
3. menjelaskan ketentan dari mahfum mukhalafah
4. menjelaskan alasan – alasan ulama tentang mahfum
mukhalafah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Mafhum
Definisi
Mafhfum adalah :
ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق
بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله .
“Penunjukkan
lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar
yang disebutkan”[2]
Misalnya,
firman Allah:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا
إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ
الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" (QS.Al-Isra’
17:23)
Ayat
ini menunjukkan dan dapat dilihat dari sisi mafhu>mnya pelarangan memukul
orang tua.
Contoh
lainnya dalam QS. An-Nisa 4:25.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ
طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ…
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka)
yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..”.[3]
Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang
tidak beriman. Dua hal diatas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak
disebutkan (mafhfum).
Secara etimologi
pengertian al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari kumpulan beberapa sifat yang
menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum itu sendiri berasal
dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab ta'iba" mempunyai arti :
sebuah gambaran yang sangat bagus.
Sedangkan secara
terminilogis makna al-mafhum adalah : lafadz yang menunjukkan terhadap sesuatu
diluar pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nutqi), dan menjadi sebuah hukum terhadap
yang telah ditetapkan.
2.2 Kehujahan Mafhum Mukhalafah
Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab
tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini dapat
dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya; yang oleh
karenanya tidak dapat dibenarkan mengkias sesuatu padanya, namun tidak ada
seorangpun para ulama pendukung kias yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut
dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum
syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad, ulama Syafi’iyah[4]
dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan ketentuan:
1) Mafhum
Mukholafah tidak bertentangan dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti
firman Allah (al-Isro’:31)
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka
ini tidak bisa dijadikan hujah, karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari
firman Allah (al-Isro’: 33)
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar”
2) Apabila
adanya pembatasan hukum yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa
padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika
adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan
mafhum mukholafa. Arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut
menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, antara lain:
a) Pembatasan
hukum tersebut sesuai dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal
firman Allah (an-Nisa: 23)
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ
b) Pembatasan
hukum yang disebut dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda
Nabi SAW: ”tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkabung lebih tiga hari kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat
bulan sepuluh hari”.
c) Pembatasan
hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti
firman Allah. (at-Taubah :80)
“Kamu
memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah
sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali,
namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.”
d) Pembatasan
hukum yang tersebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti
ketika Nabi ditanya tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau
menjawab. ”pada unta yang mencari makan sendiri dikenakan zakat”.
Alasan ulama yang menjadikan mafhum mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1. Bahwasnya
syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika
mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan
mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal
kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan
mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)
“Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”[5]
3. Terhadap
pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti
mempunyai penggunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama
hanafiyah mengatakan bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang
sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang
tidak disebut itu justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan
hukumnya berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh” Dalam buku ushul fiqih
karya Drs. Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum
mukholafah dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara
syarat-syaratnya sebagai berikut:
·
Mafhum mukallaf itu tidak bertentangan
denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq dan Mafhum
Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan Qiyas
daripadanya.
·
Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam
hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan
menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh
ayat:
Artinya:
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum
Mukhalafah nya yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya
ayat ini tidak menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
·
Sesuatu yang disebutkan itu bukanlah
dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia
disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum
mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:
Artinya:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia
berkata yang baik atau hendaknya ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Mafhum
mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut
untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak
ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
·
jika kait disebutkan dalam rangkaian
dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi hujjah.
Misalnya firman Allah: Artinya: “janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri`tikaf dalam
mesjid…”. (QS. Al Baqarah: 187)Kait dalam masjid-masjid
mafhumnya yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah menunjukkan b
ahwa bagi orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan
isterinya.
·
kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan
yang umum. Jika ia menunjukkan suatukebiasaan yang umum, maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh
ayat:
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ
Artinya:
“anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).
Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan
yang umum yaitu anak tiri biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi
ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak
tirinya yang bukan dalam pemeliharaannya.
·
jika suatu kait menunjukkan kekejian
suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
(QS. Surat Ali Imran: 130).
Kait
dengan berlipat ganda tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan
kekjian riba. Jadi ayat ayat ini tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang
tidak berlipat ganda itu hukumnya mubah (boleh).
·
Jika suatu kait menunjukkan banyak
(jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
Artinya:
“Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah
sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait
tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak
terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang
munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih
dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.
Lafadz
ditinjau dari segi bentuk taklif Hukum syari adalah khitab Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan
ketentuan. Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk
mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan. Setiap tuntutan mengandung taklif
atas pihak yang dituntut; dalam hal ini adalah manusia mukallaf. Tuntutan yang
mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut amar (perintah), sedangkan
tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut nahyi
(larangan).
2.3 Macam-macam Mafhum Mukhalafah
1) Mafhum
shifat ( washfi), yaitu menghubungkan hokum sesuatu kepada salah satu
shifatnya, seperti Firman Allah SWT:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
(النّساء
Artinya:
“maka hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin”.
Seperti pula pada contoh berikut:
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَ بِكُم ( النّساء : ٢۳
Artinya:
dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandung (menantu). (Q.S Al-Isra’ : 23[6]
2) Mafhum
illat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu menurut illatnya. Contoh mengharamkan
minuman keras karena memabukkan.
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَ نْصَابُ وَالْاَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (المائدة : ۹۰
Artinya
: wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi,
berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan setan. (Q.S Al-Maidah : 90)
3) Mafhum’adat,
yaitu menghubungkan hokum sesuatu, kepada bilangan yang tertentu. Firman Allah
SWT:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ
الْمُحْصَنَتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُواْ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدوْهُمْ ثَمَا
نِيْنَ جَلْدَةً...(النّور : ۴
)
Artinya:
“orang-orang menuduh perempuan-perempuan baik berbuat curang (zina). Kemudian
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka pukullah mereka delapan puluh
kali pukulan”. (QS. An-Nur: 4)
Mafhum mukhalafah ‘adad dalam ayat ini adalah jumlah pukulan tidak boleh lebih
dan tidak boleh kurang dari delapan puluh kali.
4) Mafhum
ghayah, yaitu lafal yang menunjukkan hokum sampai kepada ghayah (batasan,
hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta”
Seperti firman Allah SWT :
اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوةِ
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ
...
(المائدة : ۶ )
Artinya:“Bila
kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada
kepada siku” (QS. Al-maidah:6).
فَإِ نْطَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ
مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ (البقر ة : ٢۳ )
Artinya
: kemudian jika si suami menalak (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S
Al-Baqarah : 23).
5) Mafhum
mukhalafah ghayahnya adalah sebelum istrinya menikah dengan suami kedua dan
diceraikannya maka dia belum halal bagi suami pertama.
Mafhum Had, yaitu menentukan hokum dengan disebutkan suatu ‘adad, di antara
adat-adatnya, seperti firman Allah SWT:
قُلْ لاَ اَجِدُ فِيْمَا اُوحِيَ
اِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً
أَوْدَمًا مَسْفُوْحًا اَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهُ رِجْسٌ اَوْفِسْقًا
اُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ ... (الانعام : ۱۴۵ )
Artinya
:
“Katakanlah,
tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, darah yang mengalir atau daging babi,karena sesungguhnya semua itu
kotor atau binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah.” (QS.
Al-an’am : 145).
6) Mafhum
Laqaab, Yaitu menggantungkan hokum kepada isim alam atau isim fi’il, seperti
sabda Nabi Saw:
قَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : اَبُوْ بَكْرٍفِىِ الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ
فِى الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِى الْجَنَّةِ اِلَى عِدَّةِ الْعَشَرَ . حديث حسن
Artinya:
“Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Usman masuk surga, Ali masuk surga
sampai-sampai bilangan itu sepuluh” (Hadis Hasan).
Mafhum mukhalafah pada contoh lain seperti perkataan berikut:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
Artinya
: Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasul Allah Swt.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Dari pembahasan yang sangat singkat ini,
mungkin dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, memahami mukhalafah dan mafhum
sangatlah penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap
pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Akhir kalam, dengan sebuah harapan
semoga makalah yang sangat singkat ini dapat bermanfaat serta membantu dalam
memahami mukhalafah dan mafhum, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang
telah ada sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul
Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina
Utama, Semarang, 1994, hal.8
Abdul Wahab Khalaf , Kaidah-Kaidah Hokum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1989, hal. 247
Syafe'i,
Rachmat, Ilmu Ushul fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007,
cetakan III
Syafe'i, Rachmat, Ilmu Ushul fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2015,
cetakan ke-5
Terjemahan
ushul fiqh. Prof. Mohammad Abu Zahrah,
Terjemahan ushul fiqh. Prof. Mohammad Abu Zahrah, hal 234