Senin, 14 September 2020

Makalah "Kebudayaan Islam"

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar belakang

Secara umum studi Islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki,  universal dan dinamis serta abadi (eternal), untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan dunia modern,agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan tujuan tersebut, maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang sekiranya relevan.[1]

Memahami suatu agama diperlukan berbagai pendekatan diantaranya melalui pendekatan teologis normatif, antopologis, sosiologis, historis, filosofis, dan kebudayaan. Hal itu dilakukan agar melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya , tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat dan tidak fungsional.[2]

Pendekatan teologis normatif adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing mengklaim dirinya paling benar, sedangkan yang lain adalah salah. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatansosiologis dapat diartikan sebagaimana pendekatan agama melalui ilmu-ilmu sosial, karena di dalam agama banyak timbul permasalahan sosial. Melalui pendekatan ini agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Pendekatan historis adalah pendekatan agama melalui ilmu sejarah. Pendekatan filosofis dapat diartikan sebagai upaya pendekatan agama melalui ilmu filsafat dengan tujuan agama dapat dimengerti dan dipahami dengan seksama. Pendekatan kebudayaan adlah pendekatan melalui budaya seperti kepercayaan, kesenian, adat istriadat. Misalnya cara berpakaian di saat resepsi pernikahan, kehidupan sehari-hari, pergaulan antara pria dan wanita dan upacara-upacara keagamaan.  

 

1.2  Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian tentang kebudayaan islam ?

2.      Apa yang di maksud tentang kebudayaan dalam islam ?

3.      Apa yang di maksud pendekatan kebudayaan dalam islam ?

4.      Apa saja nilai-nilai budaya islam ?

 

1.3  Tujuan masalah

Yang menjadi tujuan pembuatan makalah ini yaitu :

1.      Untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang Sistem Kebudayaan  Islam.

2.      Untuk membimbing manusia dalam mengembangkan Sistem Kebudayaan Islam.       

3.      Untuk memahami tentang pendekatan kebudayaan dalam Islam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Pengertian Kebudayaan dan Unsur-unsurnya.

Ada tiga istilah yang semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization, dan kebudayaan. Term kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata cultura. Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan atau mengolah (S. Takdir Alisyahbana, 1986: 205). Soerjono Soekanto (1993: 188) mengungkapkan hal yang sama. Namun ia menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan mengolah atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah mengolah tanah atau bertani. Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.[3]

Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata Latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah warga negara (civitas: negara kota, dan civilitas: kewarganegaraan). Oleh karena itu, S.Takdir Alisyahbana (1986: 206) menjelaskan bahwa sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus. Dalam Bahasa Indonesia , peradapan dianggap sepadan dengan civilization.

Berikut beberapa pengertian kebudayaan menurut S.Takdir Alisyahbana (1986: 207-8) :[4]

Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

·         Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi.

·         Kebudayaan adalah cara, aturan, dan jalan hidup manusia.

·         Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan persoalan.

·         Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.

·         Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.


Unsur-unsur kebudayaan dalam pandangan Malinowski adalah sebagai berikut :[5]

·         Sistem norma yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara para anggota masyarakat dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.

·         Organisasi ekonomi.

·         Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan

·         Organisasi kekuatan.

Dengan istilah teknis yang berbeda tetapi sama dari segi substansi, sambil mengutip pendapat Herskovits, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964) mengajukan empat unsur kebudayaan, yaitu technologicalequipment (alat-alat teknologi), economicsystem (sistem ekonomi), family (keluarga, dan political control (kekuasaan politik). Di samping itu, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal (cultural universal), karena dapat dijumpai pada setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. C. Kluckhohn, seorang antropolog, telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu yang disederhamanakan menjadi tujuh. Tujuh unsur yang dianggapnya sebagai cultural universal adalah sebagai berikut:

1.      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, dan alat-alat transportasi).

2.      Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, dan sistem distribusi).

3.      Sitem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan).

4.      Bahasa (lisan dan tulisan).

5.      Kesenian (seni rupa, seni suara, dan seni gerak).

6.      Sistem pengetahuan.

7.      Religi (sistem kepercayaan).

Kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang dihadapi manusia seperti kekuatan alam dan kekuatan-kekuatan lainnya tidak selalu baik baginya. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat. Teknologi paling sedikit meliputi tujuh unsur, yaitu alat-alat produktif, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung, dan alat-alat transportasi.

 

2.2   Konsep Kebudayaan dalam Islam

Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian). Kata buddhi berubah menjadi budaya yang berarti “yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi, kebudayaan, yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju (Poerwadarminta,1982:157).

Dari pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa kebudayaan merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan terlihat pada hasil budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa, golongan, atau individu. Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya pribadi manusia, golongan, atau ras, akan terlihat pada kebudayaan yang dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan merupakan orientasi dan pola pikir manusia, golongan, atau bangsa. Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang timbulnya suatu kebudayaan itu sendiri. Dawson (1993:57) memberikan empat faktor yang menjadi alasan pokok yang menentukan corak suatu kebudayaan, yaitu faktor geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan, dan ekonomi.

Dalam Islam , memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu kebudayaan. Berkaitan dengan masalah kebudayaan. Islam memberi kerangka asas atau prinsip yang bersifat hakiki atau esensial. Dengan kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang dalam perwujudannya tergantung pada pemahaman pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu yang berbeda, esensinya diwujudkan oleh aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, politik, sosial budaya, teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.

Ciri-ciri yang membedakan antara kebudayaan Islam dengan budaya lain, diungkapkan oleh Siba’i bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan tauhid, berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai oleh semangat ilmu (Zainal, 1993:60).

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudyaan Islam dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi dan sunnah Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai implementasi Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam, sumber norma dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan Islam dapat dipilah menjadi tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil cipta karya orang Islam, kebudayaan tersebut didasarkan pada ajaran Islam, dan merupakan pencerminan dari ajaran Islam.

Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika itu bukan merupakan produk kaum Mslimin tidak bisa dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula sebaliknya, meskipun budaya tersebut merupakan produk orang-orang Islam, tetapi substansinya sama sekali tidak mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001) menegaskan bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“, karena semuanya berasal dari rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh. Tanpa wahyu kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam maupun organisasi politik atau ekonomi Islam.

 

2.3  Prinsip-Prinsip Kebudayaan dalam Islam

Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.

Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : [6]“ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.

Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :

·         Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas.

·         Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang.

·         Ketiga : Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali.

 

2.4  Sejarah Intelektual dalam Islam

Ada banyak faktor penyebab proses pertumbuhan peradaban Islam. Namun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor penyebab tumbuh berkembangnya peradaban Islam, hingga mencapai lingkup mondial, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor pertama (internal) berasal dari dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri.

Faktor kedua(eksternal) pada hakikanya merupakan implikasi dari faktor pertama. Motivasi internal yang begitu kuat telah mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran Islam menjiwai dalam setiap kehidupannya.

Tonggak-tonggak sejarah peradaban Islam, tak pernah lepas dari sejarah intelektual Islam. Untuk memahami dengan baik perkembangan tersebut, idealnya diperlukan pemahaman yang memadai tentang periodisasi sejarah perkembangan Islam. Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu: masa klasik antara 650-1250 M, masa pertengahan antara tahun 1250-1800 M, dan masa modern antara tahun 1800 sampai sekarang.

Pada masa klasik, lahir ulama’ mahzab, seperti: Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i , dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu lahir pula filosof muslim pertama,Al-Kindi 801 M. Diantara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum Muslimin menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Selain, Al-Kindi, pada abad itu lahir pula filosof besar seperti: Al-Razi (865 M) dan Al-Farabi (870 M). keduanya dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat. Pada abad berikutnya, lahir filosof agung Ibn Miskawaih 930 M. Pemikirannya yang terkenal tentang pendidikan akhlak. Kemudian Ibn Sina tahun 1037 M, Ibn Bajjah tahun 1138 M, Ibn Tufail tahun 1147 M,dan Ibn Rusyd tahun 1126 M.

Masa pertengahan dalam catatan sejarah pemikiran Islam masa kini, merupakan fase kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih ada sampai sekarang. Sebagai pemikir muslim kontemporer sering melontarkan tuduhan pada Al-Ghazali sebagai orang pertama yang menjauhkan filsafat dari agama. Sebagaimana tertuang dalam tulisannya “Tahafut al-Falasifah” (Kerancuan Filsafat). Tulisan Al-Ghazali dijawab oleh Ibn Rusyd dengan tulisan Tahafut al-Tahafut (Kerancuan di atas kerancuan).

 

2.5  Pendekatan Kebudayaan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan.[7]Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsuryang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[8]

Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.

Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Alquran maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.

Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasya-rakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut, unsur agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengamafan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala Arab. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju ala Cina. Di situ terlihat produk budaya yang berbeda yang dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.

 

2.6   Pendekatan Kebudayaan Terhadap Agama 

Konsep mengenai kebudayaan yang dikemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendata dan mengkaji serta memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.

Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.

Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.

Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.

 

2.7  Islam dan  Budaya  Indonesia

Dakwah Islam ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam tidak lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam diIndonesia, dirasakan demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaanantara ajaran Islam dengan kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya  Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa oleh para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa. Para wali Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia, misalnya: setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan bahasa Arab (Al-Qur’an), yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang dilaksanakan tidak lain adalah ajaran-ajaran Islam.

Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.

Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal: masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa. Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat  ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu.[9]

Peninggalan Islam yang dapat kita saksikan hari ini merupakan perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan setempat. Hasil-hasil kebudayaan yang bercorak Islam dapat kita temukan antara lain dalam bentuk bangunan (masjid, makam) dan seni :

Peninggalan dalam Bentuk Bangunan Bangunan yang menjadi ciri khas Islam antara lain ialah masjid, istana/keraton, dan makam (nisan) :[10]

1)      Masjid
Masjid merupakan tempat salat umat Islam. Masjid tersebar di berbagai daerah. Namun, biasanya masjid didirikan pada tepi barat alun-alun dekat istana. Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dan rajanya. Masjid merupakan tempat bersatunya rakyat dan rajanya sebagai sesama mahkluk Illahi dengan Tuhan. Raja akan bertindak sebagai imam dalam memimpin salat. Bentuk dan ukuran masjid bermacam-macam. Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid ialah atap (kubahnya). Masjid di Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke atas makin kecil, dan tingkatan yang paling atas biasanya berbentuk limas. Jumlah atapnya selalu ganjil. Bentuk ini mengingatkan kita pada bentuk atap candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun serta puncak stupa yang adakalanya berbentuk susunan payung-payung yang terbuka. Dengan demikian, masjid denganbentuk seperti ini mendapat pengaruh dari Hindu-Budha. Beberapa di antara masjid-masjid khas Indonesia memiliki menara, tempat muadzin menyuarakan adzan dan memukul bedug. Contohnya menara Masjid Kudus yang memiliki bentuk dan struktur bangunan yang mirip dengan bale kul-kul di Pura Taman Ayun. Kul-kul memiliki fungsi yang sama dengan menara, yakni memberi informasi atau tanda kepada masyarakat mengenai berbagai hal berkaitan dengan kegiatan suci atau yang lain dengan dipukulnya kul-kul dengan irama tertentu.
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk masjid, dapat kita lihat antara lain pada beberapa masjid berikut :

1.      Masjid Banten (bangun beratap tumpang)

2.      Masjid Demak (dibangun para wali)

3.      Masjid Kudus (memiliki menara yang bangun dasarnya serupa meru)

4.      Masjid Keraton Surakarta, Yogyakarta, Cirebon (beratap tumpang)

5.      Masjid Agung Pondok Tinggi (beratap tumpang)

6.      Masjid tua di Kotawaringin, Kalimantan Tengah (dibangun ulama penyebar siar pertama di Kalteng)

7.      Masjid Raya Aceh, Masjid Raya Deli (dibangun zaman Sultan Iskandar Muda)

 

2)      Makam dan Nisan

Makam memiliki daya tarik tersendiri karena merupakan hasil kebudayaan. Makam biasanya memiliki batu nisan. Di samping kebesaran nama orang yang dikebumikan pada makam tersebut, biasanya batu nisannya pun memiliki nilai budaya tinggi. Makam yang terkenal antara lain makam para anggota Walisongo dan makam raja-raja.
Pada makam orang-orang penting atau terhormat didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup atau kubah dalam bentuk yang sangat indah dan megah. Misalnya, makam Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sunan-sunan besar yang lain.

Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk makam dapat kita lihat antara lain pada beberapa makam berikut.

1.      Makam Sunan Langkat (di halaman dalam masjid Azisi, Langkat)

2.      Makam Walisongo

3.      Makam Imogiri (Yogyakarta)

4.      Makam Raja Gowa

Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk nisan dapat kita lihat antara lain pada beberapa nisan berikut :

a)      Di Leran, Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M);

b)      Di Sumatra (di pantai timur laut Aceh utara) ditemukan batu nisan Sultan Malik alsaleh yang berangka tahun 696 Hijriah (1297 M);

c)      Di Sulawesi Selatan, ditemukan batu nisan Sultan Hasanuddin;

d)     Di Banjarmasin, ditemukan batu nisan Sultan Suryana Syah; dan

e)      Batu nisan di Troloyo dan Trowulan.

 

3)      Peninggalan dalam Bentuk Karya Seni

Peninggalan Islam dapat juga kita temui dalam bentuk karya seni seperti seni ukir, seni pahat, seni pertunjukan, seni lukis, dan seni sastra. Seni ukir dan seni pahat ini dapat dijumpai pada masjid-masjid di Jepara. Seni pertunjukan berupa rebana dan tarian, misalnya tarian Seudati. Pada seni aksara, terdapat tulisan berupa huruf arab-melayu, yaitu tulisan arab yang tidak memakai tanda (harakat, biasa disebut arab gundul). Salah satu peninggalan Islam yang cukup menarik dalam seni tulis ialah kaligrafi. Kaligrafi adalah menggambar dengan menggunakan huruf-huruf arab. Kaligrafi dapat ditemukan pada makam Malik As-Saleh dari Samudra Pasai.

Karya sastra yang dihasilkan cukup beragam. Para seniman muslim menghasilkan beberapa karya sastra antara lain berupa syair, hikayat, suluk, babad, dan kitab-kitab. Syair banyak dihasilkan oleh penyair Islam, Hamzah Fansuri. Karyanya yang terkenal adalah Syair Dagang, Syair Perahu, Syair Si Burung Pangi, dan Syair Si Dang Fakir. Syair-syair sejarah peninggalan Islam antara lain Syair Kompeni Walanda, Syair Perang Banjarmasin, dan Syair Himop. Syair-syair fiksi antara lain Syair Ikan Terumbuk dan Syair Ken Tambunan.

Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita atau dongeng yang sering dikaitkan dengan tokoh sejarah. Peninggalan Islam berupa hikayat antara lain, Hikayat Raja Raja Pasai, Hikayat Si Miskin (Hikayat Marakarma), Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Jauhar Manikam.

Suluk adalah kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran tasawuf. Peninggalan Islam berupa suluk antara lain Suluk Wujil, Suluk Sunan Bonang, Suluk Sukarsa, Suluk Syarab al Asyiqin, dan Suluk Malang Sumirang.

Babad adalah cerita sejarah tetapi banyak bercampur dengan mitos dan kepercayaan masyarakat yang kadang tidak masuk akal. Peninggalan Islam berupa babad antara lain Babad Tanah Jawi, Babad Sejarah Melayu (Salawat Ussalatin), Babad Raja-Raja Riau, Babad Demak, Babad Cirebon, Babad Gianti.

Adapun kitab-kitab peninggalan Islam antara lain Kitab Manik Maya, Us-Salatin Kitab Sasana-Sunu, Kitab Nitisastra, Kitab Nitisruti, serta Sastra Gending karya Sultan Agung.[11]

 

2.8  Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia

Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam berasal dari jazirah Arab, maka Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.

Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik simpati sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang tengah terjadi saat itu.

Dalam pandangan Nurcholis Majid (1988:70) bahwa daya tarik Islam yang pertama dan utama adalah besifat psikologis, Islam yang secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan merupakan konsep revolusioner yang sangat memikat dalam membebaskan orang-orang lemah (mustadh’afin) dari belenggu hidupnya.

Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo di tanah Jawa. Karena kehebatan para wali Allah SWT itu dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Kebudayaan yang Islami adalah hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia yang tidak terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Hasil olah yang universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam perkembangannya, perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan diri manusia sendiri. Di sinilah, agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab.

Nilai Islam yang beraroma Negara Arab secara tidak langsung masuk meresap ke dalam budaya Indonesia, seperti ejaan, kebiasaan, dsb.

 

3.2  Saran

1.      Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat lebih   mengembangkan Sistem Kebudayaan Islam di Indonesia dan dapat pula mengerti dan paham tentang konsep kebudayaan islam di indonesia.

2.      Penulisan makalah ini tidak lepas dari yang namanya konsep dan sebuah rujukan yang dijadikan bahan penulisan makalah. Untuk itu kami mohon kepada Bapak pembimbing mata kuliyah pendidikan agama islam (PAI) agar mengajarkan kepada para pelajar khususnya bagi mahasiswa agar tidak melanggar dari norma-norma agama yang sudah ditetapkan, karena selain merugikan diri sendiri juga akan merugikan orang lain.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Muhaimin, Prof. Dr, dkk ,Kawasan dan wawasan studi Islam hal 12, Jakarta: Prenada media, 2005


Akhmad Taufik, Metodologi Studi Islam hal 13 Malang: Bayumedia Publishing, 2004.


Atang, Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam hal 27-29 Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.


Ibid hal 31



Hakim, Atang Abd, Drs, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, hal 43, cet 1.

 


http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\



http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\

 

W.J.S Poerwadarminta,kamus  umum bahasa indonesia,OP.cit.,hlm.156

 

Sultan takbir Alisjahbana,Antropologi Baru, ( Jakarta;Dian Rakyat,1986),cet.III,hlm



[1] Muhaimin, Prof. Dr, dkk ,Kawasan dan wawasan studi Islam hal 12, Jakarta: Prenada media,

[2] Akhmad Taufik, Metodologi Studi Islam hal 13 Malang: Bayumedia Publishing, 2004.

[3] Atang, Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam hal 27-29 Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.

[4] Ibid hal 31

[5] Hakim, Atang Abd, Drs, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, hal 43, cet 1.

[6] Gazalba,Sidi.1975.Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam.Jakarta:Pustaka Antara

[7] W.J.S Poerwadarminta,kamus  umum bahasa indonesia,OP.cit.,hlm.156

[8] Sultan takbir Alisjahbana,Antropologi Baru, ( Jakarta;Dian Rakyat,1986),cet.III,hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah_"Berhujjah dengan Mahfum Mukhalafah"

  KATA PENGANTAR   Alhamdullilahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita semua tetapi sedikit sekali yang kita ...