BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Secara umum studi Islam bertujuan
untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana
yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan
dinamis serta abadi (eternal), untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan
budaya dan dunia modern,agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan
yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Dengan tujuan tersebut, maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang
sekiranya relevan.[1]
Memahami suatu agama diperlukan
berbagai pendekatan diantaranya melalui pendekatan teologis normatif,
antopologis, sosiologis, historis, filosofis, dan kebudayaan. Hal itu dilakukan
agar melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya , tanpa mengetahui berbagai pendekatan
tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat dan tidak
fungsional.[2]
Pendekatan teologis
normatif adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau
simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing mengklaim dirinya paling benar,
sedangkan yang lain adalah salah. Pendekatan antropologis dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan
cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Pendekatansosiologis dapat diartikan sebagaimana pendekatan
agama melalui ilmu-ilmu sosial, karena di dalam agama banyak timbul
permasalahan sosial. Melalui pendekatan ini agama dapat dipahami dengan mudah
karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.
Pendekatan historis adalah pendekatan agama melalui ilmu sejarah.
Pendekatan filosofis dapat diartikan sebagai upaya pendekatan agama
melalui ilmu filsafat dengan tujuan agama dapat dimengerti dan dipahami dengan
seksama. Pendekatan kebudayaan adlah pendekatan melalui budaya seperti
kepercayaan, kesenian, adat istriadat. Misalnya cara berpakaian di saat resepsi
pernikahan, kehidupan sehari-hari, pergaulan antara pria dan wanita dan
upacara-upacara keagamaan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
tentang kebudayaan islam ?
2.
Apa yang di
maksud tentang kebudayaan dalam islam ?
3.
Apa yang di
maksud pendekatan kebudayaan dalam islam ?
4.
Apa saja
nilai-nilai budaya islam ?
1.3 Tujuan masalah
Yang
menjadi tujuan pembuatan makalah ini yaitu :
1.
Untuk menambah wawasan
bagi pembaca tentang Sistem
Kebudayaan Islam.
2.
Untuk membimbing
manusia dalam mengembangkan Sistem Kebudayaan
Islam.
3.
Untuk memahami
tentang pendekatan kebudayaan dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebudayaan
dan Unsur-unsurnya.
Ada tiga istilah yang semakna
dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization, dan kebudayaan. Term
kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata cultura. Arti kultur
adalah memelihara, mengerjakan atau mengolah (S. Takdir Alisyahbana, 1986:
205). Soerjono Soekanto (1993: 188) mengungkapkan hal yang sama. Namun ia
menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan mengolah atau mengerjakan
sebagai arti kultur adalah mengolah tanah atau bertani. Atas dasar arti yang
dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan
manusia untuk mengolah dan mengubah alam.[3]
Istilah kedua yang semakna atau
hampir sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization)
berasal dari kata Latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah
warga negara (civitas: negara kota, dan civilitas: kewarganegaraan). Oleh
karena itu, S.Takdir Alisyahbana (1986: 206) menjelaskan bahwa sivilisasi
berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus. Dalam
Bahasa Indonesia , peradapan dianggap sepadan dengan civilization.
Berikut beberapa pengertian
kebudayaan menurut S.Takdir Alisyahbana (1986: 207-8) :[4]
Kebudayaan adalah suatu keseluruhan
yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala
kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
·
Kebudayaan adalah
warisan sosial atau tradisi.
·
Kebudayaan adalah cara,
aturan, dan jalan hidup manusia.
·
Kebudayaan adalah
penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan
persoalan.
·
Kebudayaan adalah hasil
perbuatan atau kecerdasan manusia.
·
Kebudayaan adalah hasil
pergaulan atau perkumpulan manusia.
Unsur-unsur kebudayaan dalam pandangan Malinowski adalah sebagai berikut :[5]
·
Sistem norma yang
memungkinkan terjadinya kerjasama antara para anggota masyarakat dalam upaya
menguasai alam sekelilingnya.
·
Organisasi ekonomi.
·
Alat-alat dan lembaga
atau petugas pendidikan
·
Organisasi kekuatan.
Dengan
istilah teknis yang berbeda tetapi sama dari segi substansi, sambil mengutip
pendapat Herskovits, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964) mengajukan
empat unsur kebudayaan, yaitu technologicalequipment (alat-alat teknologi), economicsystem (sistem ekonomi), family (keluarga,
dan political control (kekuasaan politik). Di
samping itu, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersifat
universal (cultural universal), karena dapat dijumpai pada setiap
kebudayaan yang ada di dunia ini. C. Kluckhohn, seorang antropolog, telah
menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu yang disederhamanakan menjadi
tujuh. Tujuh unsur yang dianggapnya sebagai cultural universal adalah
sebagai berikut:
1. Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi, dan alat-alat transportasi).
2. Mata
pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi,
dan sistem distribusi).
3. Sitem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan
sistem perkawinan).
4. Bahasa
(lisan dan tulisan).
5. Kesenian
(seni rupa, seni suara, dan seni gerak).
6. Sistem
pengetahuan.
7. Religi
(sistem kepercayaan).
Kebudayaan mempunyai pengaruh yang
sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang dihadapi
manusia seperti kekuatan alam dan kekuatan-kekuatan lainnya tidak selalu baik
baginya. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan
yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat. Teknologi paling sedikit
meliputi tujuh unsur, yaitu alat-alat produktif, senjata, wadah, makanan dan
minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung, dan alat-alat transportasi.
2.2
Konsep Kebudayaan dalam
Islam
Dari segi etimologis, kata
kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa
Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian). Kata buddhi berubah
menjadi budaya yang berarti “yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti
pula pikiran, akal budi, kebudayaan, yang mengenai kebudayaan yang sudah
berkembang, beradab, maju
(Poerwadarminta,1982:157).
Dari pengertian budaya di atas,
dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa kebudayaan merupakan gambaran dari
taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan terlihat
pada hasil budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa,
golongan, atau individu. Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya pribadi manusia,
golongan, atau ras, akan terlihat pada kebudayaan yang dimiliki sebagai hasil
ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan merupakan orientasi dan
pola pikir manusia, golongan, atau bangsa. Kebudayaan merupakan suatu konsep
yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang
timbulnya suatu kebudayaan itu sendiri. Dawson (1993:57) memberikan empat
faktor yang menjadi alasan pokok yang menentukan corak suatu kebudayaan, yaitu
faktor geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan, dan ekonomi.
Dalam Islam , memang tidak ada
suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu kebudayaan. Berkaitan dengan masalah
kebudayaan. Islam memberi kerangka asas atau prinsip yang bersifat hakiki atau
esensial. Dengan kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang dalam
perwujudannya tergantung pada pemahaman pendukungnya.Dalam keadaan
atau waktu yang berbeda, esensinya diwujudkan oleh aksidensi yang sangat
ditentukan oleh aspek ekonomi, politik, sosial budaya, teknik, seni, dan
mungkin juga oleh filsafat.
Ciri-ciri yang membedakan antara
kebudayaan Islam dengan budaya lain, diungkapkan oleh Siba’i bahwa ciri-ciri
kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan tauhid,
berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai
oleh semangat ilmu (Zainal, 1993:60).
Dari paparan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebudyaan Islam dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi,
cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi dan sunnah
Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai implementasi
Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam,
sumber norma dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian
kebudayaan Islam dapat dipilah menjadi tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan
Islam sebagai hasil cipta karya orang Islam, kebudayaan tersebut didasarkan
pada ajaran Islam, dan merupakan pencerminan dari ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut merupakan
kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika itu bukan merupakan produk kaum
Mslimin tidak bisa dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula
sebaliknya, meskipun budaya tersebut merupakan produk orang-orang Islam, tetapi
substansinya sama sekali tidak mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan
kata lain, Al-Faruqi (2001) menegaskan bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam
adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“, karena semuanya berasal dari rangkaian wahyu
Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh. Tanpa wahyu kebudayaan
Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam maupun organisasi
politik atau ekonomi Islam.
2.3
Prinsip-Prinsip
Kebudayaan dalam Islam
Islam, datang untuk mengatur dan
membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan
demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut
suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan
agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak
bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu
meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju
kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya
telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun
secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat
menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : [6]“
Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan,
dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi
budaya menjadi tiga macam :
·
Pertama :
Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. seperti ; kadar besar kecilnya
mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita
biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas.
·
Kedua : Kebudayaan
yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, Contoh yang paling jelas,
adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang
bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat
dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang.
·
Ketiga :
Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben “ yang
dilakukan oleh masyarakat Bali.
2.4
Sejarah
Intelektual dalam Islam
Ada banyak faktor penyebab proses
pertumbuhan peradaban Islam. Namun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
faktor penyebab tumbuh berkembangnya peradaban Islam, hingga mencapai lingkup
mondial, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor pertama (internal) berasal
dari dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri.
Faktor kedua(eksternal) pada
hakikanya merupakan implikasi dari faktor pertama. Motivasi internal yang
begitu kuat telah mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan
perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran Islam menjiwai
dalam setiap kehidupannya.
Tonggak-tonggak sejarah peradaban
Islam, tak pernah lepas dari sejarah intelektual Islam. Untuk memahami dengan
baik perkembangan tersebut, idealnya diperlukan pemahaman yang memadai tentang
periodisasi sejarah perkembangan Islam. Dengan menggunakan teori yang
dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah
intelektual Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu: masa klasik
antara 650-1250 M, masa pertengahan antara tahun 1250-1800 M, dan masa modern
antara tahun 1800 sampai sekarang.
Pada masa klasik, lahir ulama’
mahzab, seperti: Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i , dan Imam Maliki.
Sejalan dengan itu lahir pula filosof muslim pertama,Al-Kindi 801 M. Diantara
pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum Muslimin menerima filsafat sebagai
bagian dari kebudayaan Islam. Selain, Al-Kindi, pada abad itu lahir pula
filosof besar seperti: Al-Razi (865 M) dan Al-Farabi (870 M). keduanya dikenal
sebagai pembangun agung sistem filsafat. Pada abad berikutnya, lahir filosof
agung Ibn Miskawaih 930 M. Pemikirannya yang terkenal tentang pendidikan
akhlak. Kemudian Ibn Sina tahun 1037 M, Ibn Bajjah tahun 1138 M, Ibn Tufail
tahun 1147 M,dan Ibn Rusyd tahun 1126 M.
Masa pertengahan dalam catatan
sejarah pemikiran Islam masa kini, merupakan fase kemunduran karena filsafat
mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan
dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih ada
sampai sekarang. Sebagai pemikir muslim kontemporer sering melontarkan tuduhan
pada Al-Ghazali sebagai orang pertama yang menjauhkan filsafat dari agama.
Sebagaimana tertuang dalam tulisannya “Tahafut al-Falasifah” (Kerancuan
Filsafat). Tulisan Al-Ghazali dijawab oleh Ibn Rusyd dengan tulisan Tahafut
al-Tahafut (Kerancuan di atas kerancuan).
2.5
Pendekatan
Kebudayaan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan
(usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil
kebudayaan.[7]Sementara itu, Sutan
Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang
kompleks, yang terjadi dari unsur-unsuryang berbeda seperti pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[8]
Dengan demikian, kebudayaan adalah
hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi
batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, adat istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya itu
selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang
dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan
tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para
pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.
Kebudayaan yang demikian
selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada
tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di
masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh
penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya
membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Alquran
maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan
demikian, agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat.
Agama yang tampil dalam
bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di
masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap
kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
Kita misalnya menjumpai kebudayaan
berpakaian, bergaul, bermasya-rakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan
tersebut, unsur agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau
lainnya dapat dijumpai dalam pengamafan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur
budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta
misalnya, kita jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala Arab.
Sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju ala Cina. Di situ terlihat produk
budaya yang berbeda yang dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.
2.6
Pendekatan Kebudayaan
Terhadap Agama
Konsep mengenai kebudayaan yang
dikemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat
atau kacamata untuk mendata dan mengkaji serta memahami agama. Bila agama
dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai
kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang
diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat tersebut. Agama dilihat dan
diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah
masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat
dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi
ciri dari kebudayaan.
Pada waktu kita melihat dan
memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama
sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama
yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi.
Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi
bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut.
Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat
yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam
meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari
agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai
hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada,
sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian
maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.
Bila agama telah menjadi bagian
dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan
oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka
dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini.
Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin
dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila
yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai
budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh
masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting
untuk upacara-upacara saja.
Apakah gunanya menggunakan
pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai
alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah
masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari
kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan
agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran
yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan
para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama
yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai
aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita
dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena
memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut
dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada
dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan
yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan
kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.
2.7
Islam
dan Budaya Indonesia
Dakwah Islam ke Indonesia lengkap
dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam tidak lepas dari budaya Arab.
Permulaan berkembangnya Islam diIndonesia, dirasakan demikian sulit untuk
mengantisipasi adanya perbedaanantara ajaran Islam dengan kebudayaan Arab. Tumbuh
kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa oleh para juru
dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun budaya
seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa. Para wali Allah
tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui
bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja
dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan
berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan
secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa
Indonesia, misalnya: setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan
bahasa Arab (Al-Qur’an), yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa
daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang
dilaksanakan tidak lain adalah ajaran-ajaran Islam.
Ajaran-ajaran Islam yang bersifat
komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari
raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama
dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun yang
kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang
bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama
mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam bulan
syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam,
yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan
cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana
akrab dalam keluarga.
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam
dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai
dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia
yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun
yang baru dibangun, misal: masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya
Jawa. Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata
dapat ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki
dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang
batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu.[9]
Peninggalan Islam yang dapat kita
saksikan hari ini merupakan perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan
setempat. Hasil-hasil kebudayaan yang bercorak Islam dapat kita temukan antara
lain dalam bentuk bangunan (masjid, makam) dan seni :
Peninggalan dalam Bentuk Bangunan Bangunan yang menjadi
ciri khas Islam antara lain ialah masjid, istana/keraton, dan makam (nisan) :[10]
1) Masjid
Masjid merupakan tempat salat umat Islam. Masjid tersebar di berbagai daerah.
Namun, biasanya masjid didirikan pada tepi barat alun-alun dekat istana.
Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dan rajanya. Masjid merupakan tempat
bersatunya rakyat dan rajanya sebagai sesama mahkluk Illahi dengan Tuhan. Raja
akan bertindak sebagai imam dalam memimpin salat. Bentuk dan ukuran masjid
bermacam-macam. Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid ialah atap
(kubahnya). Masjid di Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke atas makin
kecil, dan tingkatan yang paling atas biasanya berbentuk limas. Jumlah atapnya
selalu ganjil. Bentuk ini mengingatkan kita pada bentuk atap candi yang
denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun serta puncak stupa yang adakalanya
berbentuk susunan payung-payung yang terbuka. Dengan demikian, masjid denganbentuk
seperti ini mendapat pengaruh dari Hindu-Budha. Beberapa di antara
masjid-masjid khas Indonesia memiliki menara, tempat muadzin menyuarakan adzan
dan memukul bedug. Contohnya menara Masjid Kudus yang memiliki bentuk dan
struktur bangunan yang mirip dengan bale kul-kul di Pura Taman Ayun. Kul-kul
memiliki fungsi yang sama dengan menara, yakni memberi informasi atau tanda
kepada masyarakat mengenai berbagai hal berkaitan dengan kegiatan suci atau
yang lain dengan dipukulnya kul-kul dengan irama tertentu.
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk masjid, dapat kita lihat antara lain
pada beberapa masjid berikut :
1.
Masjid Banten (bangun
beratap tumpang)
2.
Masjid Demak (dibangun
para wali)
3.
Masjid Kudus (memiliki
menara yang bangun dasarnya serupa meru)
4.
Masjid Keraton
Surakarta, Yogyakarta, Cirebon (beratap tumpang)
5.
Masjid Agung Pondok
Tinggi (beratap tumpang)
6.
Masjid tua di
Kotawaringin, Kalimantan Tengah (dibangun ulama penyebar siar pertama di
Kalteng)
7. Masjid
Raya Aceh, Masjid Raya Deli (dibangun zaman Sultan Iskandar Muda)
2)
Makam dan Nisan
Makam memiliki daya tarik
tersendiri karena merupakan hasil kebudayaan. Makam biasanya memiliki batu
nisan. Di samping kebesaran nama orang yang dikebumikan pada makam tersebut,
biasanya batu nisannya pun memiliki nilai budaya tinggi. Makam yang terkenal
antara lain makam para anggota Walisongo dan makam raja-raja.
Pada makam orang-orang penting atau terhormat didirikan sebuah rumah yang
disebut cungkup atau kubah dalam bentuk yang sangat indah dan megah. Misalnya,
makam Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sunan-sunan besar yang lain.
Peninggalan sejarah Islam dalam
bentuk makam dapat kita lihat antara lain pada beberapa makam berikut.
1.
Makam Sunan Langkat (di
halaman dalam masjid Azisi, Langkat)
2.
Makam Walisongo
3.
Makam Imogiri (Yogyakarta)
4.
Makam Raja Gowa
Peninggalan sejarah Islam dalam
bentuk nisan dapat kita lihat antara lain pada beberapa nisan berikut :
a)
Di Leran, Gresik (Jawa
timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang memuat
keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun
yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M);
b)
Di Sumatra (di pantai
timur laut Aceh utara) ditemukan batu nisan Sultan Malik alsaleh yang berangka
tahun 696 Hijriah (1297
M);
c)
Di Sulawesi Selatan,
ditemukan batu nisan Sultan Hasanuddin;
d)
Di Banjarmasin,
ditemukan batu nisan Sultan Suryana Syah; dan
e)
Batu nisan di Troloyo
dan Trowulan.
3)
Peninggalan dalam
Bentuk Karya Seni
Peninggalan Islam dapat juga kita
temui dalam bentuk karya seni seperti seni ukir, seni pahat, seni pertunjukan,
seni lukis, dan seni sastra. Seni ukir dan seni pahat ini dapat dijumpai pada
masjid-masjid di Jepara. Seni pertunjukan berupa rebana dan tarian, misalnya
tarian Seudati. Pada seni aksara, terdapat tulisan berupa huruf arab-melayu, yaitu
tulisan arab yang tidak memakai tanda (harakat, biasa disebut arab gundul).
Salah satu peninggalan Islam yang cukup menarik dalam seni tulis ialah
kaligrafi. Kaligrafi adalah menggambar dengan menggunakan huruf-huruf arab.
Kaligrafi dapat ditemukan pada makam Malik As-Saleh dari Samudra Pasai.
Karya sastra yang dihasilkan cukup
beragam. Para seniman muslim menghasilkan beberapa karya sastra antara lain
berupa syair, hikayat, suluk, babad, dan kitab-kitab. Syair banyak dihasilkan
oleh penyair Islam, Hamzah Fansuri. Karyanya yang terkenal adalah Syair Dagang,
Syair Perahu, Syair Si Burung Pangi, dan Syair Si Dang Fakir. Syair-syair
sejarah peninggalan Islam antara lain Syair Kompeni Walanda, Syair Perang
Banjarmasin, dan Syair Himop. Syair-syair fiksi antara lain Syair Ikan Terumbuk
dan Syair Ken Tambunan.
Hikayat adalah karya sastra yang
berisi cerita atau dongeng yang sering dikaitkan dengan tokoh sejarah.
Peninggalan Islam berupa hikayat antara lain, Hikayat Raja Raja Pasai, Hikayat
Si Miskin (Hikayat Marakarma), Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Amir Hamzah,
Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Jauhar Manikam.
Suluk adalah kitab-kitab yang
berisi ajaran-ajaran tasawuf. Peninggalan Islam berupa suluk antara lain Suluk
Wujil, Suluk Sunan Bonang, Suluk Sukarsa, Suluk Syarab al Asyiqin, dan Suluk
Malang Sumirang.
Babad adalah cerita sejarah tetapi
banyak bercampur dengan mitos dan kepercayaan masyarakat yang kadang tidak
masuk akal. Peninggalan Islam berupa babad antara lain Babad Tanah Jawi, Babad
Sejarah Melayu (Salawat Ussalatin), Babad Raja-Raja Riau, Babad Demak, Babad
Cirebon, Babad Gianti.
Adapun kitab-kitab peninggalan
Islam antara lain Kitab Manik Maya, Us-Salatin Kitab Sasana-Sunu, Kitab
Nitisastra, Kitab Nitisruti, serta Sastra Gending karya Sultan Agung.[11]
2.8
Nilai-Nilai
Islam dalam Budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap
dengan budayanya. Karena Islam berasal dari jazirah Arab, maka Islam masuk ke
Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.
Kedatangan Islam dengan segala
komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik simpati sebagian
besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang
tengah terjadi saat itu.
Dalam pandangan Nurcholis Majid
(1988:70) bahwa daya tarik Islam yang pertama dan utama adalah besifat psikologis,
Islam yang secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan
merupakan konsep revolusioner yang sangat memikat dalam membebaskan orang-orang
lemah (mustadh’afin) dari belenggu hidupnya.
Dalam perkembangan dakwah Islam di
Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya,
sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo di tanah Jawa. Karena kehebatan para wali
Allah SWT itu dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat
sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk dan menjadi
tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kebudayaan yang Islami adalah hasil
olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia yang tidak terlepas dari
nilai-nilai ketuhanan. Hasil olah yang universal berkembang menjadi sebuah
peradaban. Dalam perkembangannya, perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan
yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu
hewani sehingga akan merugikan diri manusia sendiri. Di sinilah, agama
berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga
menghasilkan kebudayaan yang beradab.
Nilai Islam yang beraroma Negara
Arab secara tidak langsung masuk meresap ke dalam budaya Indonesia, seperti
ejaan, kebiasaan, dsb.
3.2
Saran
1. Semoga
makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat
lebih mengembangkan Sistem Kebudayaan Islam di Indonesia dan
dapat pula mengerti dan paham tentang konsep kebudayaan islam di indonesia.
2. Penulisan
makalah ini tidak lepas dari yang namanya konsep dan sebuah rujukan yang
dijadikan bahan penulisan makalah. Untuk itu kami mohon kepada Bapak pembimbing
mata kuliyah pendidikan agama islam (PAI) agar mengajarkan kepada para pelajar
khususnya bagi mahasiswa agar tidak melanggar dari norma-norma agama yang sudah
ditetapkan, karena selain merugikan diri sendiri juga akan merugikan orang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin,
Prof. Dr, dkk ,Kawasan dan wawasan studi Islam hal 12, Jakarta:
Prenada media, 2005
Akhmad Taufik, Metodologi Studi Islam hal 13 Malang: Bayumedia
Publishing, 2004.
Atang, Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam hal 27-29 Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1999.
Ibid hal 31
Hakim,
Atang Abd, Drs, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999, hal 43, cet 1.
http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\
http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\
W.J.S
Poerwadarminta,kamus umum bahasa
indonesia,OP.cit.,hlm.156
Sultan takbir
Alisjahbana,Antropologi Baru, ( Jakarta;Dian Rakyat,1986),cet.III,hlm
[1] Muhaimin, Prof. Dr,
dkk ,Kawasan dan wawasan studi Islam hal 12, Jakarta: Prenada media,
[2] Akhmad
Taufik, Metodologi Studi Islam hal 13 Malang: Bayumedia Publishing,
2004.
[3] Atang,
Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam hal 27-29 Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999.
[4] Ibid
hal 31
[5] Hakim,
Atang Abd, Drs, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, hal 43, cet 1.
[6] Gazalba,Sidi.1975.Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan
Islam.Jakarta:Pustaka Antara
[7] W.J.S Poerwadarminta,kamus umum bahasa indonesia,OP.cit.,hlm.156
[8]
Sultan takbir Alisjahbana,Antropologi Baru, (
Jakarta;Dian Rakyat,1986),cet.III,hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar