Senin, 14 September 2020

Makalah_"Berhujjah dengan Mahfum Mukhalafah"

 

KATA PENGANTAR

 

Alhamdullilahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita semua tetapi sedikit sekali yang kita ingat, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNYA sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini yang berjudul “ Berhujjah dengan Mahfum Mukhalafah”. Dan juga kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Drs.H.Musnad Rozin,M.H. selaku dosen mata kuliah  ushul fiqh kami yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini berkat ridho Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu, dalam kesempatan ini saya mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak dan teman-teman yang membantu membuat makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam Proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan tangan terbuka kami menerima saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

 

Metro,        Mei 2018

Penyusun

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

HALAMAN JUDUL -----------------------------------------------------------------------------------   i

KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------------------------   ii

DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------------------------------------   iii

 

BAB I PENDAHULUAN -----------------------------------------------------------------------------   1

1.1 Latar belakang ---------------------------------------------------------------------   1

1.2 Rumusan masalah -----------------------------------------------------------------   1

1.3 Tujuan -----------------------------------------------------------------------------   1

 

BAB II PEMBAHASAN ------------------------------------------------------------------------------   2

2.1 Definisi Mahfum-------------------------------------------------------------------   2

2.2 Kehujjahan Mahfum Mukhalafah  ------------------------------------------------   3

2.3 Macam-macam Mahfum Mukhalafah----------------------------------------------   8

 

 

BAB III PENUTUP ------------------------------------------------------------------------------------   11

3.1 Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------   11

 

DAFTAR PUSTAKA----------------------------------------------------------------------------------   12

 

 

 

 

 

 

 

 

 


\BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar belakang

Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari’ baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketika seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath­-kan sebuah hukum baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun yang tidak disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui atau mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Para ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhâlafah meskipun imam Abu Hanifah[1] mengingkari dalam menggunakan mafhum mukhâlafah tersebut.

Maka dari itu pada makalah ini kami ingin mengulasnya lebih lanjut, semoga apa yang kami terngakan dapat dipahami dengan mudah lagi bermasnfaat. Segala puji hanya untuk Allah,sholawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad bin Abdullah selaku penutup para nabi.

 

1.2  Rumusan Masalah

1.      apa yang di maksud dengan mahfum ?

2.      apa kehujjahan mahfum mukhalafah ?

3.      apa saja ketentuan mahfum mukhalafah ?

4.      apa alasan ulama tentang mahfum mukhalafah ?

 

1.3  Tujuan

1.      Menjelaskan yang di maksud dengan mahfum

2.      menjelaskan pengertian kehujjahan mahfum mukhalafah

3.      menjelaskan ketentan dari mahfum mukhalafah

4.      menjelaskan alasan – alasan ulama tentang mahfum mukhalafah

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Definisi Mafhum

 

Definisi  Mafhfum adalah :

ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله .

“Penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan”[2]

Misalnya, firman Allah:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

 “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" (QS.Al-Isra’ 17:23)

Ayat ini menunjukkan dan dapat dilihat dari sisi mafhu>mnya pelarangan memukul orang tua.

Contoh lainnya dalam QS. An-Nisa 4:25.

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ

 “Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..”.[3]
Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak beriman. Dua hal diatas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan (mafhfum).

Secara etimologi pengertian al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari kumpulan beberapa sifat yang menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum itu sendiri berasal dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab ta'iba" mempunyai arti : sebuah gambaran yang sangat bagus.

Sedangkan secara terminilogis makna al-mafhum adalah : lafadz yang menunjukkan terhadap sesuatu diluar pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nutqi), dan menjadi sebuah hukum terhadap yang telah ditetapkan.

 

2.2  Kehujahan Mafhum Mukhalafah

Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya; yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengkias sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun para ulama pendukung kias yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad, ulama Syafi’iyah[4] dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan ketentuan:

 

1)      Mafhum Mukholafah tidak bertentangan dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah (al-Isro’:31)

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah, karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”

 

2)      Apabila adanya pembatasan hukum yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa. Arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, antara lain:

a)      Pembatasan hukum tersebut sesuai dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal firman Allah (an-Nisa: 23)

 

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ

b)      Pembatasan hukum yang disebut dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda Nabi SAW: ”tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih tiga hari kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat bulan sepuluh hari”.

c)      Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)

“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.”

d)     Pembatasan hukum yang tersebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang mencari makan sendiri dikenakan zakat”.


Alasan ulama yang menjadikan mafhum mukholafah sebagai hujah, yaitu:

1.      Bahwasnya syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.

2.      Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”[5]

3.      Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh” Dalam buku ushul fiqih karya Drs. Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara syarat-syaratnya sebagai berikut:

·         Mafhum mukallaf itu tidak bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan Qiyas daripadanya.

·         Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.

Contoh ayat:

Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).

Mafhum Mukhalafah nya yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.

 

·         Sesuatu yang disebutkan itu bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:

 

Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaknya ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).

Mafhum mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.

 

·         jika kait disebutkan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi hujjah.
Misalnya firman Allah: Artinya: “janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam
mesjid…”. (QS. Al Baqarah: 187)Kait dalam masjid-masjid mafhumnya yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah menunjukkan b ahwa bagi orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan isterinya.

 

·         kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatukebiasaan yang umum, maka mafhum  Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.

Contoh ayat:

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ

Artinya: “anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).


Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan dalam pemeliharaannya.

 

·         jika suatu kait menunjukkan kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Surat Ali Imran: 130).

Kait dengan berlipat ganda tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba. Jadi ayat ayat ini tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat ganda itu hukumnya mubah (boleh).

 

·         Jika suatu kait menunjukkan banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:

Artinya: “Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).

Kait tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.

Lafadz ditinjau dari segi bentuk taklif Hukum syari adalah khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan. Setiap tuntutan mengandung taklif atas pihak yang dituntut; dalam hal ini adalah manusia mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut amar (perintah), sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum  untuk ditinggalkan disebut nahyi (larangan).

 

 

2.3  Macam-macam Mafhum Mukhalafah

1)      Mafhum shifat ( washfi), yaitu menghubungkan hokum sesuatu kepada salah satu shifatnya, seperti Firman Allah SWT:

 

فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النّساء

Artinya: “maka hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin”.
Seperti pula pada contoh berikut:

وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَ بِكُم ( النّساء : ٢۳

Artinya: dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandung (menantu). (Q.S Al-Isra’ : 23[6]

 

2)      Mafhum illat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu menurut illatnya. Contoh mengharamkan minuman keras karena memabukkan.


يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَ نْصَابُ وَالْاَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (المائدة : ۹۰

Artinya : wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. (Q.S Al-Maidah : 90)

 

3)      Mafhum’adat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu, kepada bilangan yang tertentu. Firman Allah SWT:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُواْ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدوْهُمْ ثَمَا نِيْنَ جَلْدَةً...(النّور : ۴ )

Artinya: “orang-orang menuduh perempuan-perempuan baik berbuat curang (zina). Kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka pukullah mereka delapan puluh kali pukulan”. (QS. An-Nur: 4)


Mafhum mukhalafah ‘adad dalam ayat ini adalah jumlah pukulan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang dari delapan puluh kali.

4)      Mafhum ghayah, yaitu lafal yang menunjukkan hokum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta” Seperti firman Allah SWT :

 

اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ ...
(المائدة : ۶ )

Artinya:“Bila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada kepada siku” (QS. Al-maidah:6).

فَإِ نْطَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ (البقر ة : ٢۳ )

Artinya   : kemudian jika si suami menalak (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S Al-Baqarah : 23).

5)      Mafhum mukhalafah ghayahnya adalah sebelum istrinya menikah dengan suami kedua dan diceraikannya maka dia belum halal bagi suami pertama.

Mafhum Had, yaitu menentukan hokum dengan disebutkan suatu ‘adad, di antara adat-adatnya, seperti firman Allah SWT:

قُلْ لاَ اَجِدُ فِيْمَا اُوحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْدَمًا مَسْفُوْحًا اَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهُ رِجْسٌ اَوْفِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ ... (الانعام : ۱۴۵ )

Artinya :

“Katakanlah, tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir atau daging babi,karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah.” (QS. Al-an’am : 145).

 

6)      Mafhum Laqaab, Yaitu menggantungkan hokum kepada isim alam atau isim fi’il, seperti sabda Nabi Saw:

قَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَبُوْ بَكْرٍفِىِ الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِى الْجَنَّةِ اِلَى عِدَّةِ الْعَشَرَ . حديث حسن

Artinya:
“Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Usman masuk surga, Ali masuk surga sampai-sampai bilangan itu sepuluh”     (Hadis Hasan).
Mafhum mukhalafah pada contoh lain seperti perkataan berikut:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ

Artinya : Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasul Allah Swt.

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  kesimpulan

Dari pembahasan yang sangat singkat ini, mungkin dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, memahami mukhalafah dan mafhum sangatlah penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah. 

Akhir kalam, dengan sebuah harapan semoga makalah yang sangat singkat ini dapat bermanfaat serta membantu dalam memahami mukhalafah dan mafhum, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang telah ada sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA


Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994, hal.8
Abdul Wahab Khalaf , Kaidah-Kaidah Hokum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1989, hal. 247

Syafe'i, Rachmat, Ilmu Ushul fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007, cetakan III
Syafe'i, Rachmat, Ilmu Ushul fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2015, cetakan ke-
5

Terjemahan ushul fiqh. Prof. Mohammad Abu Zahrah,
Terjemahan ushul fiqh. Prof. Mohammad Abu Zahrah, hal 234



[1] Terjemahan ushul fiqh. Prof. Mohammad Abu Zahrah

[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994, hal.8

[3] Abdul Wahab Khalaf , Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1989, hal. 247

[4] Syafe'i, Rachmat, Ilmu Ushul fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007, cetakan III

[5] Syafe'i, Rachmat, Ilmu Ushul fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2015, cetakan ke-5

[6] Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu

Makalah_"Berhujjah dengan Mahfum Mukhalafah"

  KATA PENGANTAR   Alhamdullilahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita semua tetapi sedikit sekali yang kita ...