BAB I
PENDAHULUAN
Sumber hukum dalam bahasa Inggris adalah source
of law. Perkataan “sumber hukum” itu sebenarnya berbeda dari
perkataan “dasar hukum”, “landasan hukum” ataupun “payung hukum”. Dasar hukum
ataupun landasan hukum adalah legal basis atau legal ground, yaitu norma hukum
yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat
dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum. Sedangkan, perkataan “sumber hukum” lebih menunjuk kepada pengertian
tempat dari mana asal-muasal suatu nilai atau norma tertentu berasal.
Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State”
menyatakan bahwa istilah sumber hukum itu (sources of law) dapat
mengandung banyak pengertian, karena sifatnya yang figurative and highly
ambiguous. Pertama, yang lazimnya dipahami sebagai sources of law ada 2 (dua)
macam, yaitu custom dan statute. Kedua, sources of law juga dapat dikaitkan
dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law.
Ketiga, sources of law juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis,
seperti norma moral, etika, prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para
ahli, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum,
sehingga dapat pula disebut sebagai sumber hukum atau the sources of the law.
Sumber hukum dapat dibedakan antara yang
bersifat formal (source of law in formal sense) dan material (source of law in
material sense). Setiap negara memilki system hukum yang berbeda-beda
sehingga sumber hukum yang digunakan berbeda pula.
Namun, khusus dalam hukum tata negara pada umumnya yang bisa diakui sebagai sumber hukum ada lima, yaitu: Undang-Undang
Dasar dan peraturan perundang-undangan tertulis; yurisprudensi peradilan;
konvensi ketata negaraan; hukum internasional tertentu; dan doktin ilmu hukum
tata negara. Seperti di Indonesia, ada lima sumber-sumber hukum tata negara yang berlaku. Sumber-sumberdan contohnya ini akan dijelaskan dalam paper
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Sumber-sumber hukum tata negara ada lima, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar dan peraturan
perundang-undangan tertulis
Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang berlaku di suatu negara.
Hukum ini tidak mengatur hal-hal yang terperinci melainkan hanya menjabarkan
prinsip-prinsip yang menjadi dasar peraturan-peraturan lainnya. Undang-Undang
Dasar merupakan naskah konstitusi yang tertulis dalam satu kodifikasi.
Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar,
yang mana sebelumnya pernah berubah-ubah. Pertama naskahnya berupa UUD 1945
periode pertama dari tahun 1945 sampai 1949. Periode kedua konstitusi RIS tahun
1949. Ketiga, UUDS 1950. Keempat, UUD 1945 periode kedua tahun 1959 sampai
1999. Kelima, UUD 1945 periode ketiga tahun 1999 sampai 2000. Keenam, UUD 1945
periode keempat tahun 2000 sampai 2001. Ketujuh, UUD 1945 periode kelima tahun
2001-2002 dan terakhir UUD 1945 periode keenam tahun 2002 sampai sekarang.
Peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Indonesia memiliki
peraturan perundang-undang yang diatur dalam UU No 12 tahun 2011 pasal 7.
Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945
Materi muatan undang-undang dasar meliputi :
· Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari
warga Negara
· Membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak
penguasa, serta menetapkan bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan
mereka.
Undang-Undang Dasar
1945 pernah diamandemen empat kali
Amandemen I Tahun 1999
Perubahan pertama ini
diambil dalam suatu putusan majelais pada tanggal 19 Oktober 1999 dengan
mengubah 9 pasal.
Amandemen II Tahun 2000
Perubahan kedua
disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dengan mengubah dan menambah beberapa
pasal.
Amandemen III tahun 2001
Amandemen ketiga
disahkan tanggal 10 November 1945. MPR mengubah dan menambah 23 pasal.
Amandemen IV tahun 2002
Perubahan ini disahkan
tanggal 10 Agustus 2002 yang berlaku hingga sekarang, yang mengubah
dan atau menambah 13 pasal, 3 Aturan peralihan dan 2 Aturan Tambahan.
b. Ketetapan MPR
Dalam Pasal 3 UUD 1945
ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar
dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan istilah menetapkan tersebut maka
orang berkesimpulan, bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan
MPR.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia nomor:
I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003”. Sampai saat ini ada 8 ketetapan MPR yang masih berlaku mengikat
umum, yaitu:
Ketetapan MPRS nomor XXV/MPRS/1996 tentang
pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara RI bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebabkan atau Mengembangkan
Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku, dengan
ketentuan seluruh ketentuan dalam ketetpaan MPRS-RI Nomor XXV/MPRS/1966 ini, ke
depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi,
dan hak asasi manusia.
Ketatapan MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang
Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi
Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1996 Tentang
Pengangkatan Pahlawan Ampera yang tetap berlaku dengan menghargai Pahlawan
Ampera yang telah ditetapkan hingga terbentuknya UU tentang pemberian gelar,
tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.
Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN sampai terlaksananya
seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut.
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika
dan Kehidupan Berbangsa
Ketetapan MPR Nomor VII/ MPR/2001 Tentang Visi
Indonesia Masa Depan
Ketatapan MPR Nomor VIII/ MPR/2001 Tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN sampai
Terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut.
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya ketentuan
dalam ketetapan tersebut
c. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti
undang-undang
Undang-undang
mengandung dua pengertian, yaitu :
undang-undang dalam arti materiel : peraturan
yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
undang-undang dalam arti formal :
keputusan tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat
(1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Contoh UU yang ada di
Indonesia adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
d. Peraturan Pemerintah
UUD 1945 memberi
kewenangan kepada presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna
melaksanakan undang-undang yang dibentuk presiden dengan DPR. Dalam hal
ini berarti tidak mungkin bagi presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum
ada undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif
tanpa adanya Peraturan Pemerintah. Contoh Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
e. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden
adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden. Materi muatannya
adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan peraturan pemerintah. Contohnya:
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementrian Negara.
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang
Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
f. Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah
Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
2. Yurisprudensi peradilan
Istilah Yurisprudensi, berasal bahasa Latin, yaitu dari
kata “jurisprudentia” yang berarti pengetahuan hukum.
Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis peradilan sama artinya dengan kata”
jurisprudentie” dalam bahasa Belanda dan “jurisprudence” dalam
bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan. ( Purnadi
Purbacaraka , dkk, 1995: 121 )
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (
2001:1278 ) kata yurisprudensi diartikan: ajaran hukum melalui peradilan;
himpunan putusan hakim.
Menurut istilah, terdapat berbagai definisi yang dikemukakan pada
Ahli Hukum. Sebagai contoh berikut dikemukakan beberapa variasi definisi
yurisprudensi :
- Menurut
Kansil ( 1993: 20 ) yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang
sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai
masalah yang sama.
- Menurut Sudikno Mertokusumo (
1991 : 92 ) yurisprudensi adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit
terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri
dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan siapapun dengan
cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Secara
ringkas singkat, menurut Sudikno, yurisprudensi adalah putusan pengadilan.
- Menurut, A. Ridwan Halim (1998
: 57 ) yang dimaksud yurisprudensi adalah suatu putusan hakim atas suatu
perkara yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang yang untuk
selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili
kasus-kasus serupa.
- Menurut
Subekti ( 1974 : 117 ) yurisprudensi adalah putusan Hakim atau Pengadilan
yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi
atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap.
Di Inggris, Amerika, kanada, dan Australia istilah jurisprudence
berarti ilmu hukum. Karena hukum dalam tradisi Anglo Saxonia memang tumbuh dari
putusan-putusan pengadilan. Ilmu hukum dikembangkan dengan cara mempelajari
kasus-kasus dan putusan pengadilan. Oleh karena itu, lama kelamaan istilah
jurisprudence di Inggris dan negara berbahasa Inggris lainnya yang dipengaruhi
oleh system hukum Anglo Saxon berkembang dalam pengertian ilmu hukum.
Dalam sistem continental seperti di Jerman, Perancis, dan
Belanda, putusan pengadilan dianggap sebagai salah satu dari norma hukum yang
dipelajari dan dijadikan sumber hukum. Jurisprudentie di Belanda
menunjuk kepada pengertian putusan pengadilan yang bersifat tetap yang kemudian
dijadikan referensi bagi hakim lainnya dalam memeriksa perkara serupa di
kemudian hari.
Contohnya di Indonesia
adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
008/PUU-IV/2006 pelarangan anggota partai terlarang menjadi caleg
3. Konvensi ketatanegaraan
Konvensi-konvensi
ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan
dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh
pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.
Dari apa yang
dikemukakan oleh AV Dicey tersebut jelaslah bahwa konvensi ketatanegaraan harus
memenuhi cirri-ciri sebagai berikut :
- Konvensi
itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan
- Konvensi
tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan
Negara
- Konvensi
sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran terhadapnya tak
dapat diadili oleh badan pengadilan
Dalam praktik ketatanegaraan Inggris, sebagian besar konvensi
ketatanegaraan mengatur hubungan antar cabang-cabang kekuasaan pemerintahan
pusat (central government), khusunya mengatur (i) the relationship
between the monarch, ministers, and parliament, (ii) the relationship between
ministers among themselves, and (iii) the relationship between ministers and
civil servants. Kadang-kadang konvensi berfungsi sebagai devices
for adjusting the stritct law to meet the changing demands of politics.
Peraturan di Inggris yang tertulis tegas menentukan bahwa “ The Queen’s
assent is required for a valid of Parliament”. Dalam praktiknya hal itu
berubah dan berkembang menjadi sebuah konvensi yaitu bahwa The Queen
must always assent to a bill. Peraturan lain tertulis “Parliament must
meet at least every three years” kemudian berubah karena konvensi
menjadi Parlement must meet annually.
Peraturan di Inggris juga menentukan bahwa “The Queen
constitutes the executive branch of government but cannot make law nor raise
taxes except through an Act of Parliament.”. Tetapi prakteknya hal tersebut
berubah karena konvensi menjadi beberapa norma, yaitu: (a) The Queen
acts only on the advice of Ministers; (b) The cabinet is collectively
responsible to Parliament for the conduct of the government; (c) ministers are
individually responsible to Parliament for the conduct of their departments;
(d) Legislation involving taxation and public expenditure can be introduced only
by ministers; (e) executive powers are exercised through ministers, who are
collectively and individually responsible to Parliament.
Di Indonesia juga dapat ditemukan banyak konvensi ketatanegaraan
yang dipraktikan sejak dulu sampai sekarang. Dalam kurun waktu pertama
berlakunya UUD 1945 yaitu sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal
27 Desember 1949, maupun kurun waktu kedua yaitu sejak Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959 sampai sekarang. Sebagaimana telah disinggung di atas timbulnya
konvensi adalah hal yang wajar, karena UUD 1945 mengakomodasi adanya hukum
dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara. Dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945,
terjadi perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yaitu dengan
digantinya Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Akibat perubahan
itu kekuasaan eksekutif yang semula berada pada Presiden Soekarno beralih
kepada Perdana Menteri (Syahrir). Terlepas dari adanya anggapan bahwa perubahan
disebut adalah penyimpangan dari Kabinet Presidensial yang dianut oleh UUD
1945, namun menurut Menteri Penerangan RI pada waktu itu perubahan sistem
tersebut adalah ditimbulkan dengan cara kebiasaan politik (convention).
Perubahan ke arah sistem parlementer ini tidak diatur oleh UUD 1945, melainkan
karena konvensi ketatanegaraan. Dalam bukunya Undang-undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, Prof.Soepomo menyatakan dengan Kabinet Syahrir telah timbul
konvensi ketatanegaraan mengenai Kabinet Parlementer.
Dalam kurun waktu kedua berlakunya kembali UUD 1945, yaitu sejak
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sejarah ketatanegaraan Indonesia juga
mencatat adanya konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara. Seperti kita ketahui, pada periode Orde Lama, setiap
tanggal 17 Agustus Presiden Republik Indonesia, mempunyai kebiasaan untuk
berpidato dalam suatu rapat umum yang mempunyai kualifikasi tertentu, seperti
rapat raksasa, rapat samodra dan lainnya. Dalam pidato itu dikemukakan hal-hal
di bidang ketatanegaraan. Namun di bawah Orde Baru kebiasaan di atas telah
ditinggalkan, sebagai gantinya pada setiap tanggal 16 Agustus Presiden Republik
Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di bawah pemerintahan Orde
Baru telah diikrarkan tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Hal ini berarti juga UUD 1945 harus dilestarikan. Upaya pelestarian
ditempuh antara lain dengan cara tidak memperkenankan UUD 1945 untuk diubah.
Untuk keperluan itu telah ditempuh upaya hukum antara lain :
a. Melalui TAP No.1/MPR/1983, pasal 104;
"Majelis berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan
tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni
dan konsekuen".
b. Diperkenalkannya "Referendum" dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia lewat TAP No.IV/MPR/1983 untuk
memperkecil kemungkinan mengubah UUD 1945.
Maka pada periode Orde
Baru, sejak tahun 1966 terdapat beberapa praktik ketatanegaraan yang dapat
dipandang sebagai konvensi yang sifatnya melengkapi dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Contoh konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara, yang sedang berjalan :
a. Praktik di Lembaga Tertinggi Negara bernama
Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
b. Seperti telah diuraikan di atas yaitu pidato
Presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna DPR yang di satu pihak
memberi laporan pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat,
dan di lain pihak mengandung arah kebijaksanaan tahun mendatang. Secara
konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan presiden menyampaikan pidato
resmi tahunan semacam itu di hadapan Sidang Paripurna DPR. Karena presiden
tidak tergantung DPR dan tidak bertanggung jawab pada DPR, melainkan presiden
bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini tumbuh sejak Orde Baru.
c. Jauh hari sebelum MPR bersidang presiden telah
menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang aka datang itu.
Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur, bahkan menurut Pasal 3 UUD 1945 MPR-lah
yang harus merumuskan dan akhirnya menetapkan GBHN. Namun untuk memudahkan MPR,
presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan sumbangan pikiran Presiden
sebagai Mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantika anggota-anggota
MPR. Hal tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang sudah
berulang kali dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
d. Pada setiap minggu pertama bulan Januari,
Presiden Republik Indonesia selalu menyampaikan penjelasan terhadap Rancangan
Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di hadapan DPR,
perbuatan presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur
dalam UUD 1945, dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa
"Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang.
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan
pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu". Penjelasan
oleh Presiden mengenai RUU tentang APBN di depan DPR yang sekaligus juga
diketahui rakyat sangat penting, karena keuangan negara itu menyangkut salah
satu hak dan kewajiban rakyat yang sangat pokok. Betapa caranya rakyat sebagai
bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan
oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian
penjelasan UUD 1945.
e. Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam
praktik ketatanegaraan di bawah Pemerintahan Orde Baru. Pasal 17 ayat 3 UUD
1945 menyebutkan bahwa : "menteri-menteri itu memimpin Departemen
Pemerintahan". Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 17 ayat 3 UUD 1945, maka
menteri-menteri itu harus memimpin Departemen. Namun demikian dalam praktik
ketatanegaraan di masa Orde Baru dengan kabinet yang dikenal Kabinet
Pembangunan, komposisi menteri dalam tiap-tiap periode Kabinet Pembangunan di
samping ada Menteri yang memimpin Departemen, terdapat juga Menteri Negara
Nondepartemen. Adanya Menteri Nondepartemen berkaitan dengan kebutuhan pada era
pembangunan dewasa ini. Karena adanya Menteri Negara Nondepartemen sudah berulang-ulang
dalam praktik penyelenggaraan negara, maka dapatlah dipandang sebagai konvensi
dalam ketatanegaraan kita dewasa ini. Tidaklah dapat diartikan bahwa adanya
Menteri Negara Nondepartemen mengubah UUD 1945. Karena barulah terjadi
perubahan terhadap UUD 1945 apabila prinsip-prinsip konstitusional yang dianut
telah bergeser, misalnya menteri-menteri kedudukannya tidak lagi tergantung
presiden dan bertanggung jawab pada presiden. Dalam hal ini misalnya
menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada DPR dan kedudukannya
tergantung DPR.
f. Pengesahan Rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui oleh DPR. Secara konstitusional presiden sebenarnya mempunyai hak
untuk menolak mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui DPR,
sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 UUD 1945. Tetapi dalam praktik
presiden belum pernah menggunakan wewenang konstitusional tersebut, presiden
selalu mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR,
meskipun Rancangan Undang-undang itu telah mengalami berbagai pembahasan dan
amandemen di DPR. Rancangan Undang-undang kebanyakan berasal dari Pemerintah
(Presiden) sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945.
Dalam pembahasan RUU tersebut kedudukan DPR merupakan partner dari presiden c.q
pemerintah. Maka pengesahan Rancangan Undang-undang oleh Presiden sangat
dimungkinkan karena RUU tersebut akhirnya merupakan kesepakatan antara DPR
dengan Pemerintah.
Demikianlah beberapa contoh yang sedang berjalan dalam praktik
penyelenggaraan negara di masa Orde Baru yang dapat dianggap sebagai konvensi
ketatanegaraan
4. Hukum internasional tertentu
Hukum public internasional secara umum dianggap menjadi sumber hukum tata negara. Meskipun sama-sama
menjadikan negara selaku subjek hukum sebagai obyek kajiannya, antara hukum
tata negara dengan hukum internasional public jelas dapat dibedakan satu sama
lainnya. Hukum tata negara dari segi internalnya, sedangkan hukum internasional
melihat negara dari hubungan eksternalnya dengan subyek-sebyek negara lain.
Contohnya:
a. Konvensi Wina 1961 Tentang Hubungan
Diplomatic.
b. Konvensi Wina 1969 Tentang Hubungan Konsuler.
c. Konvensi New York 1969 Tentang Misi Khusus.
d. Konvensi Wina 1975 Tentang Perwakilan Negara
Pada Organisasi Internasional.
5. Doktin ilmu hukum tata negara.
Doktrin TOBAR yaitu mengenai kesepakatan 5 negara yang tidak
mengakui pemerintahan hasil pemberontak atau perebutan kekuasaan dan hanya akan
mengakui apabila secara konstitusionalitas negara terpenuhi. Artinya meski
pemerntah itu efektif memegang kekuasaan, pengakuan harus ditangguhan sampai
rakyat di negara itu melaui suatu pemilu yang bebas telah menyatakan sikapnya
terhadap pemerintahan baru itu. Doktrin ini disetujui Presiden AS woordrow yang
berbeda dengan Presiden Jefferson dengan de facto isme nya sejak 1913.
BAB III
PENUTUP
Sumber hukum dapat dibedakan antara yang
bersifat formal (source of law in formal sense) dan material (source of law in
material sense). hukum tata negara pada umumnya yang bisa diakui sebagai sumber hukum ada lima, yaitu: Undang-Undang
Dasar dan peraturan perundang-undangan tertulis; yurisprudensi peradilan;
konvensi ketata negaraan; hukum internasional tertentu; dan doktin ilmu hukum
tata negara. Di Indonesia sumber hukum yang pertama yaitu UUD dan
peraturan perundang-undangan di atur dalam UU No 12 Tahun 2011 sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan daerah Propinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly.
2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Koanstitusi RI.
Huda,
Ni’matul.2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Undang-Undang Dasar
1945.
Yuniarfan, Henry.
2008. Konvensi dan konstitusi dalam praktik ketatanegaraan di
Indonesia. http://arfanhy.blogspot.com/2008/06/konvensi-dan-konstitusi-dalam-praktik_30.html diakses tanggal 30 Maret 2012.
.2009. Hukum Tata Negara. http://menwih-hukum.blogspot.com/2009/11/hukum-tata-negara.html diakses tanggal 30 Maret 2012
Sarkowi, Asmu’i. 2010.
Yurisprudensi dalam Sistem Peradilan di Indonesia.http://bonsari.blogspot.com/2010/11/yurisprudensi-dalam-sistem-peradilan-di_22.htmldiakses tanggal 30 Maret 2012
Juniati, Rahma. 2011.
Konvensi_UUD_Konstitusi. http:konvensi-uud-konstitusi.html. diakses tanggal 30
Maret 2012.
. 2010. Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia.http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/sumber-sumber-hukum-tata-negara-indonesia/ diakses tanggal 30 Maret 2012
http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/04/pengertian-sumber-hukum.html diakses tanggal 30 Maret 2012
. 2011. Pengertian Sumber Hukum. http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2129215-pengertian-sumber-hukum/ diakses tanggal 30 Maret 2012
Hitzuke, Febyo. 2009.
Peraturan Perundang-Undangan.http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/peraturan-perundang-undangan.html diakses tanggal 30 Maret 2012
Sofa. 2008. Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia.http://massofa.wordpress.com/2008/04/29/perundang-undangan-di-indonesia/ diakses tanggal 30 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar